December 28, 2012

Deanarkisasi: Meninjau Kembali Integritas Politik Indonesia


“Pemerintahan (goverenment) dan kepatuhan (Obedience), keduanya senantiasa bergandengan tangan”. (Bentham, Anarchical Fallacies, 504)

            Salah satu momen politik yang beberapa minggu terakhir sempat menjadi sorotan berbagai media informasi adalah aksi demonstrasi anarkis yang dilakukan oleh ribuan perangkat desa yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) dan Aliansi Perangkat Desa di depan gedung DPR-RI (Jum’at/14/12/2012). Peristiwa tersebut mengandung makna politis yang mendalam terkait etika politik yang menimbulkan tafsiran beragam terhadap integritas politik kita dewasa ini. Dengan peristiwa tersebut, label anarkisme semakin menemukan ruangnya dalam percaturan politik kita; bahwa ternyata tidak hanya demo mahasiswa yang seringkali berakhir anarkis, seakan tidak mau kalah, para elit pedesaan pun juga bisa mengakhiri demo dengan tembakan gas air mata dari kepolisian.

            Demonstrasi dan anarkisme merupakan dua bengkalai yang harus segera dibereskan oleh pemerintah. Jika merunut dinamika politik kita dari masa ke masa, segera kita temukan bahwa aksi protes dengan berbagai kemasannya selalu membayangi setiap kali pemerintah hendak mengeluarkan suatu kebijakan. Di era pasca-reformasi, aksi demonstrasi merupakan sebuah bentuk protes yang seakan telah menjadi common sense sebagai realitas politik. Selanjutnya anarkisme menjadi suatu label yang selalu diidentikan dengan aksi demonstrasi. Pada tahap ini, interaksi politik kehilangan etika dan moralnya. Disadari atau tidak, anarkisme yang sudah membudaya merupakan suatu bentuk antagonisme yang mengganggu stabilitas. Ia memiliki dampak yang paralel dalam beberapa sektor, termasuk sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Anarksime dalam suatu ranah partikular akan berimbas kepada stabilitas ranah lain yang berkaitan.

           Pertanyaan kita selanjutnya adalah mengapa anarkisme seakan menjadi salah satu bagian dari budaya berpolitik kita dewasa ini ?. Secara substansial, fenomena tersebut merupakan benturan (clash) antara moral masyarakat dengan segala otonominya dan wewenang pemerintah dengan seluruh legitimasinya. Jika mau jujur, hal tersebut sebenarnya merupakan suatu resiko politik di era reformasi. Gerakan reformasi 1998 yang merupakan akumulasi “suara bawah” yang sudah lelah tercengkram dalam ketegangan struktural telah membuka sebuah episode politik yang baru bagi masyarakat Indonesia.

Di era pasca reformasi, di mana ketentraman yang dipasung telah berganti menjadi kebebasan yang dihormati, interaksi politik mengalami metamorfosis. Dari interaksi pasif-harmonis dengan segala ketegangannya  menjadi aktif-skeptis dengan segala kebebasannya. Di lain pihak, masyarakat semakin dibuat bosan oleh media informasi yang menyajikan berita tentang pemerintah dengan semua pengkhianatannya. Dengan kata lain, setiap aksi protes yang dibalut anarkisme pada dasarnya merupakan akumulasi dari berbagai kekecewaan yang dirasakan masyarakat kepada pemerintah yang tidak beretika secara politis. Dalam persinggungan ini, nilai etika dan moral yang merupakan spirit integritas politik telah diabaikan oleh kedua belah pihak.

Robert Wollf dalam In Defense of Anarchism, menegaskan bahwa problem mendasar dalam filsafat politik adalah bagaimana otonomi moral setiap individu bisa dibuat cocok dengan legitimasi wewenang negara (Robert Wolff: 1976). Dengan demikian, Ikhtiyar deanarkisasi politik bisa dirintis dari kedua belah pihak. Pemerintah sebagai pemegang legitimasi wewenang harus berkomitmen untuk menjunjung tinggi etika politik. Begitu juga masyarakat sebagai pengikat kesatuan  sebuah negara harus bisa lebih santun dalam menyampaikan aspirasinya. Ketika keduanya sadar akan tugas masing-masing, suatu integritas yang kokoh akan terjalin sehingga tercipta sebuah negara yang berdikari.

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons