December 29, 2012

Filsafat Nietzsche 1


1. Selayang Pandang
            Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Röcken, sebuah kampung kecil yang berada di dekat Lützen sebelah barat daya Leipzig, Prusia, Jerman  pada tanggal 15 Oktober 1884. Tanggal ini bertepatan dengan hari ulang tahun raja Prusia, Friedrich Wilhem IV, oleh karenanya ia diberi nama yang sama[1]. Istrinya bernama Franziska, Ayahnya, Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849) merupakan seorang pendeta lutherian, begitu juga dengan paman dan kakeknya. Ia dididik dalam suasana penuh kelembutan dan kemanjaan dari ibu dan saudara perempuannya. Ia merupakan seorang yang lembut dan mempunyai hobi membaca, terutama injil. Hidupnya banyak dirundungi kemalangan, namun ia tidak pernah sedikitpun mengeluh, sebagaimana semboyannya yang terkenal “ Amor Fati “.
            Dalam perjalanan akademisnya ia banyak berkenalan dengan orang-orang besar yang kelak akan banyak memberikan pengaruh terhadap pemikirannya, seperti Scopenhauer, Johan Goethe, Richard Wagner, dan Fredrich Ritschl. Karir akademis bergengsi yang pernah didudukinya ialah menjadi profesor filologi di Basel University, yang ia dapatkan ketika ia berusia dua puluh tahun.[2] Ketika kesehatannya mulai memburuk, ia melepaskan jabatannya ini. Ia mengembara  ke tempat yang tenang untuk menyelesaikan karya-karyanya.
            Filsafat Nietzsche tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Filsafatnya sekaligus merupakan pandangan hidupnya. Salah satu nilai plus (value added) ketika mencermati karya Nietzshe ialah pengetahuan tentang hidup. Ia memimpin sederet filsuf-filsuf besar Jerman sejak Leibniz. Ia mengantisipasi pemikran abad 20 dalam banyak hal. Ia adalah filsuf, psikolog, kritikus seni musik dan sastra, dan filolog yang meneliti teks-teks kuno. Dalam semua tema yang disajikan, Nietzsche mampu mengemukakan dengan gaya bahasa yang menarik dan pandangan pandangan yang orisinal. Nilai historis Nietzsche sangatlah besar. Pemikirannya yang meloncat dalam meramalkan masa depan sungguh sangat mengaggumkan. Ia adalah filsuf bagi para filsuf. (Hollingdale, 1968: 10-11)
Menjelang akhir hidupnya, ia dirawat di rumah sakit jiwa. Setelah ibunya meninggal, ia dirawat oleh saudaranya, Elizabeth. Ia sangat sedih dan prihatin melihat kondisi Nietzsche, bahkan Nietzsche sendiri sudah tidak menyadari akan kebesaran namanya. Pada usia 46 tahun, tanggal 25 Agustus 1900, setelah 11 tahun menderita sakit jiwa, rajawali kaum filsuf ini mengehembuskan nafas terakhirnya di Weimar. Ia meninggalkan nama besar dan karya-karya yang sampai saat ini tidak usang untuk dinikmati berulang-ulang. Oleh Nietzshe, sejarah filsafat diperkaya dengan halaman-halaman baru, segar, ganas, gemilang, dan gila.[3]
Secara kronologis perjalanan kehidupan Nietzsche dapat digambarkan sebagai berikut :
Tahun 1849, Ayah Nietzsche meninggal.
Tahun 1850, Ibu Nietzsche memindahkan seluruh keluarganya ke Naumburg.
Tahun 1858, Nietzsche memasuki asrama sekolah di Pforta.
Tahun 1864, Nietzsche kuliah di Universitas Bonn.
Tahun 1865, pindah ke Universitas Leipzig.
Tahun 1869, mendapatkan pekerjaan sebagai dosen di Universitas Basel, Swiss.
Tahun 1889, Nietzsche mengalami gangguan mental yg tak bisa disembuhkan lagi di sebuah jalan di Turin.
Dan tanggal 25 Agustus 1900, Nietzsche meninggal di Weimar, setelah lebih dari satu dekade berada dalam keadaan sakit jiwa.
Diantara karya-karya monumentalnya ialah :
v  1872 - Die Geburt der Tragödie (Kelahiran tragedi)
v  1873-1876 - Unzeitgemässe Betrachtungen (Pandangan non-kontemporer)
v  1878-1880 - Menschliches, Allzumenschliches (Manusiawi, terlalu manusiawi)
v  1881 - Morgenröthe (Merahnya pagi)
v  1882 - Die fröhliche Wissenschaft (Ilmu yang gembira)
v  1883-1885 - Also sprach Zarathustra (Maka berbicaralah Zarathustra)
v  1886 - Jenseits von Gut und Böse (Melampaui kebajikan dan kejahatan)
v  1887 - Zur Genealogie der Moral (Mengenai silsilah moral)
v  1888 - Der Fall Wagner (Hal perihal Wagner)
v  1889 - Götzen-Dämmerung (Menutupi berhala)
v  1889 - Der Antichrist (Sang Antikristus)
v  1889 - Ecce Homo (Lihat sang Manusia)
v  1889 - Dionysos-Dithyramben
v  1889 - Nietzsche contra Wagner. [4]




2.  Konsep Kunci Filsafat Nietzsche

A. Landasan Ontologis
            Dalam bidang ontologis, Nietzsche menolak terminologi Immanuel Kant yang melihat kenyataan dalam dua dikotomi, Nomena dan Fenomena. Dalam pandangan Kant, fenomena hanya sebatas  gejala yang tampak di depan subjek. Ia bukanlah kenyataan. Kenyataan yang sebenarnya terdapat di balik fenomena. Kenyataan sejati yang merupakan Das Ding An Sich ada di balik bendanya. Nomenalah yang hakiki.[5]

            Dalam ranah ontologis Nietzsche, konsepsi Kant di atas tidak berlaku. Baginya sesuatu yang disebut kenyataan ialah apa yang nyata yang dapat ditangkap oleh subjek. Objek atau benda yang nampak bagi subjek itulah yang disebut kenyataan. Inilah kenyataan sejati yang tak bisa disangkal adanya. Menurut Nietzsche, sesuatu yang disebut Kant sebagai kenyataan sejati atau Das Ding An Sich merupakan suatu ajaran yang masih dogmatis, ia memandangnya sebagai sebuah lelucon belaka. Tidak ada sesuatu lain yang tersembunyi di balik suatu benda yang tampak kepada kita.
Menurut Nietzsche, Jika menggunakan kacamata Kant, sampai kapanpun sesuatu yang disebut kenyataan sejati takan pernah ditemukan, karena akal manusia takkan mampu menangkap nomena. Oleh karenanya, konsep nomena tidak lebih dari hanya sekedar simplifikasi, imajinasi dan lelucon belaka. Nomena tidak bisa ditangkap dan diketahui, namun hanya bisa diandaikan saja. Dengan konsepsi ontologis semacam ini, kita bisa melihat sisi realisme Nietzsche yang melandaskan konstruksi pemikirannya kepada empirisisme, lain halnya dengan Kant dengan Das Ding An Sich- nya yang merupakan seorang penganut idealisme.
            Konsep ontologis Nietzsche semacam ini berimplikasi kepada produk pemikirannya, misalnya tentang manusia. Dalam pandangannya, manusia merupakan suatu eksistensi yang riil sebagaimana dapat kita saksikan, yakni hakikat manusia adalah tubuh / jasadnya sendiri. Hal ini terlihat jelas diungkapkan dalam Zarathustra : [6]
Aku adalah tubuh dan “ jiwa “, demikian dikatakan sang anak. Apa salahnya berbicara seperti seorang anak ?
Tapi mereka telah bangun, dan mereka yang tahu berkata: “ Aku adalah tubuh seluruhnya. Tidak ada yang lain, jiwa adalah sesuatu dari tubuh “ (Nietzsche, 1969: 146.)
            Dengan pandangan Nietzshe yang lebih berinklinasi kepada dominasi tubuh / fisik atas jiwa, ia mengandaikan tubuh sebagai komponen utama / akal besar. Seluruh komponen penyusun manusia termasuk jiwa, ruh, akal, dsb. hanya sebatas “ instrumen “ kecil yang dikontrol oleh tubuh itu sendiri, atau dalam bahasa Nietzshe, “ mainan kecil dari akal besar “.
 B. Karakteristik Epistemologis
 1. Vitalisme
            Siapapun tidak menyangkal bahwa Nietzsche merupakan seorang vitalis. Namun mesipun begitu, vitalismenya berbeda dengan Henry Bergson, di mana elan vital dipahami sebagai daya hidup, unsur yang merupakan inti hidup. Vitalisme Nietzsche lebih bersifat aktif. Vitalisme dalam pengertian ini mengandung arti semangat hidup. Kecintaan terhadap hidup bukan berarti takut mati. Hidup harus dihadapi dengan penuh keberanian, tidak ada kata menyerah. Ia selalu dalam proses menjadi. Manusia jembatan antara binatang dan manusia agung.[7]
Vitalisme adalah suatu doktrin yang menyatakan bahwa suatu kehidupan terletak di luar dunia materi dan karenanya kedua konsep ini, kehidupan dan materi, tidak bisa saling mengintervensi. Dimana doktrin ini menghadirkan suatu konsep energi, elan vital, yang menyokong suatu kehidupan dan energi ini bisa disamakan dengan keberadaan suatu jiwa. Pada awal perkembangan filosofi di dunia medis, konsep energi ini begitu kental sehingga seseorang dinyatakan sakit karena adanya ketidakseimbangan dalam energi vitalnya. [8]
            Dalam vitalisme versi Nietzsche, untuk dapat mencintai hidup dan mendapatkan semangatnya, manusia harus terbebas dari segala kekhawatiran akan dosa-dosa, nilai-nilai tradisional, dan segala hal yang membelenggu potensi kemanusiaannya. Hal inilah yang melatar belakangi Les nourhtures Terrestres (Earthy Nourishment), yang ditulis oleh Andre Gide, seseorang penulis yang terilhami oleh Nietzsche pada 1987. Kemunculan Gide sebagai penulis berbarengan dengan keberadaan Nietzsche di Paris selama dekade terakhir abad 19, ketika ia menghabiskan akhir-akhir hidupnya dalam keadaan sakit jiwa. Pengaruh Nietzscheisme dapat terlihat dalam karya tersebut. Dalam komposisi prosa lirikal  itu, ia mendesak seorang muridnya, Nathanael untuk mengikuti impuls kehidupan dan dan membiarkan dirinya menikmati sensasi. Ia mengatakan :
“ Nathanel, Aku tidak lagi percaya dengan dosa “ [9]
Di kemudian hari, perkataannya ini akan menjadi motto hidupnya yang memperlihatkan salah satu atmosfir dari Zarathustra.
Dalam pandangan Nietzsche, manusia itu agung asal ia mau menjulangkan semangat hidupnya. Menurut Sudarmaji, Keseriusan Nietzsche terletak pada ilmunya yang merupakan bentuk pengetahuanyang penuh dengan suka cita, keberanian, dan tidak dilandaskan pada ilmu pengetauan yang dipahami selama ini, yang kenyataannya sering melewati batas-batas non-rasional. (Sudarmaji, 2000:12). Dari titik tolak inilah kemudian Nietzsche sampai kepada Nihilisme.
2. Nihilisme
            Dalam medan konsep pemikiran Nietzsche, nihilisme merupakan syarat untuk menjamin orisinalitas dalam berfikir dan berkreasi, sehingga ia benar-benar bermakna.  Nihilisme sendiri adalah sebuah pandangan filosofis yang sering dihubungkan dengan Nietzsche. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain.Beberapa filsuf yang pernah menulis mengenai nihilisme adalah Friedrich Nietzsche dan Martin Heidegger. Istilah nihilisme sendiri pertama dicetuskan oleh Ivan Turgenev dan diperkenalkan ke dunia filosofi oleh Friedrich Heinrich Jacobi (17431819).[10]
            Nietzsche berhadapan dengan sebuah istilah yang sudah lazim pada zamannya, dan ia merefleksikan makna persis nihilsime bagi dirinya sendiri. Nihilisme sebagai normalitas zaman yang menimpa dirinya ia jadikan bahan filsafat. Nietzsche dalam buku kumpulan aforismenya Der Willezur Macht, membuka tulisannya dengan gagasan tentang Nihilisme. Dia meramalkan terjadinya bahaya dari segala bahaya, yaitu nihilisme. Semangat nihilistiknya juga banyak ditemukan di dalam karya. Dengan tema ini ia hendak menunjukkan bahwa apa saja yang dulu dianggap bernilai kini sudah mulai memudar dan menuju keruntuhan. Krisis ini pun akan berlangsung terus-menerus dan takkan terelakkan.
            Dalam salah satu cerita Nietzsche yang terkenal “ madman / orang gila “, dinyatakan : “ Tuhan sudah mati.. Tuhan terus mati.. Kita telah membunuhnya ” ( Gott ist tot.. Gott bleibt tot.. Und wir haben ihn getotet..). ( The Gay Science/ Die fröhliche Wissenschaft, sesi 125 ). Dalam sesi ini, si orang gila muncul di pasar dan berteriak “ Tuhan sudah mati “ dengan kebingungan kepada orang-orang atheist terpelajar  yang berkumpul di sana. Kemudian mereka serentak tertawa. Si orang gila memberitahu mereka, “ kita telah membunuhnya – kamu dan aku, kita semua yang di sini adalah pembunuh tuhan “. Ia mencoba menjelaskan sebaik mungkin kepada orang-orang itu yang hanya terdiam seribu bahasa. Akhirnya si orang gila membantingkan lentera yang di bawanya, dan berkata “ rupanya aku datang terlalu cepat, belum tiba saatnya bagiku. Hal ini masih terlalu jauh dari mereka melebihi bintang yang terjauh sekalipun. [11]
Hal ini merupakan serangan bagi mereka para pengikut kristiani sekuler (bahkan atheist). Orang orang yang mendengarkan si orang gila tersebut terkejut dan bahkan memperolok-oloknya. Mereka sendiri secara kritik historis bukan lagi seorang Kristiani. Mereka tidak mempercayai Tuhan apapun. Betapapun, dalam pandangan Nietzsche, mereka masih memelihara prinsip-prinsip dasar moral kristiani. Mereka tidak bisa memahami perkataan “ rupanya aku datang terlalu cepat, belum tiba saatnya bagiku. Hal ini masih terlalu jauh dari mereka, bahkan melebihi bintang yang terjauh sekalipun “ . [12]
            Hal ini terkesan seperti Nietzsche berjuang melawan setiap bentuk jaminan kepastian yang semakin pudar. Jaminan kepastian yang pertama adalah bahwa Tuhan sebagaimana diwariskan oleh agama Kristen. Jaminan kepastian adalah ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah, dan kemajuan.
Dengan pengidentifikasian diri sebagai orang gila, Nietzsche ingin menunjukkan situasi zaman yang sudah kehilangan apa yang dulu dianggap mapan, biasa dan wajar, termasuk yang pernah dialaminya sendiri. Semua makna dan nilai yang menjadi pegangan (yang mencirikan kewarasan) kini seluruhnya sudah roboh. Dengan berseru “ Tuhan sudah mati ”, Nietzsche tidak bermaksud membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Bagi Nietzsche, pembuktian mengenai eksistensi Tuhan merupakan cara bicara para metafisisi yang hanya bersandar pada prinsip-prinsip logika saja. Terutama berkaitan dengan umat kristiani di zamannya yang menurutnya sudah tidak percaya lagi pada Tuhan manapun. Ketika itu ia memandang agama sebagai slogan saja, karena pada kenyataannya umat Kristiani suda tidak ber-Tuhan.
Nietzsche memberikan sebuah ramalan bahwa gerak sejarah akan mengarah kepada suatu bentuk nihilisme yang radikal. Sebenarnya nihilisme ini tidak hanya berbunyi “Tuhan sudah mati”, tetapi juga “tuhan-tuhan sudah mati”. Apabila dirumuskan dengan gagasan Nietzsche sendiri, nihilisme ini berbunyi demikian:
nihilisme radikal adalah keyakinan bahwa secara mutlak eksistensi tak dapat dipertahankan lagi, bila itu menyangkut nilai-nilai tertinggi yang diakui manusia.
Nietzsche melihat bahwa banyak pemikir, sekalipun sudah membunuh Tuhan atau menolak suatu nilai suatu nilai absolut di luar dirinya, masih mencari model-model Tuhan lain yang dapat menjamin dunia dan hidupnya. Para Tuhan yang baru tersebut adalah berupa idea, kesadaran, rasio, kepastian akan kemajuan (progress), kesejahteraan umum, kabudayaan dan lain sebagainya.
Menghadapi nihilisme ini, Nietzsche mengusulkan Interpretasi baru yang praktis. Manusia harus memahami dirinya sebagai subjek masa kini dan masa depan. Untuk memperkuat pendapatnya tentang otoritas subjek, ia melemparkan dan mengklaim “ Tuhan sudah mati ”. Bila Tuhan sudah mati, manusia dapat bebas mewujudkan kekuasaannya. Dengan meninggalkan Tuhan yang dianggap sebagai peletak dasar nilai-nilai, manusia berhadapan dengan suatu kemayaan. Kemayaan inilah yang akan “ menampar “manusia. Manusia mulai mempertanyakan nilai segala sesuatu, termasuk dirinya. Terjadilah revolusi nilai dan norma dalam segala aspek. Di sinilah letak hubungan nihilisme dan vitalisme dalam konsepsinya.
                Menurut Martin Heidegger, filsafat Nietzsche tentang nihilisme semacam ini merupakan “ tutup botol “ problem metafisis barat. Corak pemikiran ini menunjukan bukan hanya akhir dari filsafat, namun juga akhir dari “ wahyu “ sebagai kunci pembuka makna atau ketiadaan makna. Konsep subjektivitas dalam metafisik barat yang mencapai klimaksnya dalam will to power, juga menjadi sebuah kegilaan dalam siklus eternal recurrence. Bagi Heidegger, filsafat Nietzsche bukan merupakan penaggulangan atas nihilisme, justru ia merupakan rintangan serius dalam problem nihilisme.[13] Secara konklusif, nihilisme dalam versi Nietzsche berart ke-nihil-an nilai-nilai, baik kemanusiaan ataupun ketuhanan, sehingga dengan gagasan yang agak provokatif, ia “ meletuskan “  emosinya ini dengan The Death of God. Selanjutnya, Nietzsche “ menciptakan “  Übermensch yang akan menyelamatkan dunia yang sedang chaos. Sampai di sini, sisi eksistensialisme yang beranjak dari nihilisme Nietzsche dapat terlihat.




[1] Standford Encyclopedia for Philosophy, Friedrich Nietzsche, dalam www.plato.stanford.edu  , diakses pada 23 Juni 2011 
[2] Bryan Magee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 172
[3] Listiyono, dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta, Ar-Ruz Media Grup, 2009), hlm. 54
[4] Friedrich Nietzsche, dalam www.wikipedia.com , diakses pada 23 Juni 2009 
[5] Epistemologi Kiri, hlm.56
[6] Ibid, hlm. 57
[7] Epistemologi Kiri, hlm. 58
[8] Nihilisme, dalam www.wikipedia.com , diakses pada 24 Juni 2011.
[9] Bernd Magnus and Kathleen M. Higgins, The Cambridge Companions to Nietzsche, (Cambridge University, 2006), hlm. 296

[10] Nihilisme, dalam www.wikipedia.com , diakses pada 24 Juni 2011
[11] The Cambrige Companion to Nietzsche, hlm. 36
[12] The Cambrige Companion to Nietzsche, hlm. 102
[13] The Cambridge Companion to Nietzsche, hlm. 312

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons