Sejak bulan Rajab dan Sya’ban, kaum muslimin mulai
disibukkan dengan berbagai kegiatan syi’ar Islam. Mulai dari tradisi peringatan
Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw. yang biasanya dilaksanakan berdasarkan
tradisi lokal. Tradisi Islam nusantara seperti rejaban, deba’an,
ma’barzanji, dsb. mewarnai semarak syi’ar Islam tanah air. Menjelang akhir
bulan Sya’ban, umat muslim seluruh dunia patut bergembira. Berbagai even
yang warna warni mulai dari silaturahmi keluarga, ziarah makam keluarga,
konvoi, pawai keliling, pawai obor, dan even lainnya yang sedemikian rupa
menghiasi akhir bulan Sya’ban. Hal ini semata-mata dilaksanakan dalam
rangka satu hal: menyambut bulan suci Ramadhan.
Sekali setiap tahun, umat muslim di seluruh dunia menjalankan suatu
ibadah yang dilaksanakan selama sebulan penuh. Tak berlebihan jika dikatakan
bahwa ibadah yang satu ini memang merupakan ibadah paling kompleks dan unik
diantara jenis ibadah lainnya. Betapa tidak, selain waktunya yang hanya sekali
setiap tahun, ibadah ini memiliki beberapa karakter yang merepresentasikan
dirinya sebagai ibadah yang multidimensional. Ibadah itu adalah Puasa Ramadhan,
rukun Islam keempat yang memiliki keunikan tersendiri. Ibadah puasa memiliki
nilai eksklusivitas ketika ia dinisbatkan secara langsung kepada Allah dalam
hal pahalanya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits qudsy :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة
ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي
بِهِ
Rasulullah saw. bersabda : “setiap amal baik anak adam
(manusia) akan dilipat gandakan sebanyak sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat,
Allah SWT. berfirman: ‘kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untukku dan aku
yang akan membalasnya’ “. ( Sahih Muslim
no. 1945 )
Lantas
apakah yang membuat ibadah yang satu ini begitu unik sehingga pahala (reward)
ibadah ini tidak konvensional sebagaimana ibadah lainnya ?. Apakah signifikansi
dari bulan suci yang penuh berkah ini ?
B. Arti Penting Puasa Ramadhan
Ketika
membincang bulan Ramadhan, tentunya kita juga harus berbicara ibadah
puasa ( shaum ). Keduanya merupakan dua hal yang komplementer dan tak
bisa dipisahkan. Secara leksikal, kata Ramadhan
merupakan bentuk mashdar dari kata ramadla-yarmudlu, yang makna
dasarnya adalah “panas yang membakar” [1].
Selanjutnya makna tersebut digunakan
secara konotatif sebagai bulan yang penuh dengan berkah dan pengampunan yang
membakar dosa-dosa. Sedangkan kata shaum atau shiyaam berasal
dari kata shaama-yashumu, yang berarti al-Imsak, “menahan”.[2]
Diantara
keduabelas bulan, Ramadhan merupakan bulan yang paling unik dan
eksklusif. Banyak hadits yang menjelaskan beberapa fadilah bulan Ramadhan, misalnya
:
إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ
وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ
Ketika bulan ramadhan tiba, maka pintu-pintu langit akan dibuka dan
pintu-pintu neraka akan dikunci, dan setan-setan akan dibelengu. (Sahih Bukhari 1766)
Secara
konklusif dapat dikatakan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan istimewa yang
penuh dengan “bonus” pahala. Pintu langit yang dibuka lebar dan pintu neraka
yang dikunci rapat merupakan simbol akan keagungan bulan yang satu ini. Ia
merupakan bulan rahmat, pengampunan dan keberkahan, di mana pahala kebajikan
akan dilipat gandakan dan segala atmosfir negatif diredamkan. Farid Esack,
seorang cendikiawan muslim dari Afrika Selatan mengidentifikasi Ramadhan sebagai
suatu moment dimana “perahu-perahu aman ada di pelabuhan”.[3]
Dalam artian, ketika itu seluruh umat muslim berada dalam keadaan yang penuh
akan keberkahan dengan melabuhkan seluruh potensi negatif dan fokus dengan
mengumpulkan amal kebajikan untuk bekal pelayaran selanjutnya.
Bulan Ramadhan
juga memiliki trademark tersendiri, yaitu bulan diturunkannya Al-Qur’an.
Dalam mengisi bulan yang amat istimewa ini, Allah SWT. memerintahkan kaum
muslimin untuk menjalankan ibadah puasa, hal ini sebagaimana tertera
dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 185 :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى
لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu.
Lantas,
mengapa ibadah puasa dipilih sebagai kewajiban dalam mengisi bulan Ramadhan yang
istimewa itu ?. Hal ini disebabkan ibadah yang satu ini memiliki karakter yang
benar-benar multidimensional yang secara umum bermuara pada satu tujuan yang
merupakan arti penting ibadah puasa itu sendiri, yaitu bertakwa kepada Allah
SWT., sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah : 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa,
Di sini kita akan sedikit membincang seputar percikan
hikmah ibadah puasa Ramadhan yang akan mengantarkan kita menuju pintu gerbang realitas
ketakwaan, suatu kedudukan mulia yang harus dicapai oleh seorang hamba di
hadapan sang Penciptanya.
C. Menyibak
Tirai Hikmah Puasa Ramadhan
1. Bulan Edukasi dan Evaluasi
Sesuai
dengan makna dasarnya, al-Imsak yang
berarti menahan, sejatinya dalam ibadah puasa ini terkandung suatu
esensi yang edukatif, yaitu pengendalian diri (self controlling). Prosesi
ibadah puasa dengan menahan diri dari makan dan minum dan segala hal lainnya
yang membatalakan puasa sejak terbit matahari hingga terbenam, memberikan
proses edukasi yang gradual kepada umat Islam.
Pertama, puasa mendidik umat Islam
untuk bisa mengendalikan diri dari nafsu material, yakni makan, minum dan
aktivitas seksual. Selama proses al-Imsak itu, puasa juga memberikan
ruang bagi umat Islam untuk meningkatkan intensitas ibadah mereka. Akan tetapi
dalam ibadah puasa Ramadhan ini, terdapat satu hal yang jauh lebih
penting dari hanya sekedar aktifitas lahiriah. Hal ini sebagaimana disinyalir
oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya :
رُبَّ صَائِمٍ
لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ
“Tidak
sedikit orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa selain hanya rasa
lapar saja” (Sunan Ibn Majah no. 1680)
. Siapakah yang dimaksud Rasulullah
dengan orang yang tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar semata ?,
Rasulullah saw. bersabda :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ
لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa
yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan yang keji, maka Allah tidak
butuh orang itu untuk meninggalkan makan dan minumnya” (Sahih Bukhari no. 1770)
Dengan demikian, sejatinya misi utama ibadah puasa
adalah pembinaan jasmani dan rohani. Bagaimana agar kita terbiasa mengontrol
hati, ucapan dan perbuatan untuk mencapai suatu harmonisasi yang mencerminkan
insan yang beriman dan bertakwa. Bulan ini merupakan moment di mana seluruh aktifitas
umat Islam harus dihiasi dengan berbagai amal kebajikan, dan suatu ajang yang
mengajari umat Islam untuk terbiasa membenci kebencian dan menjauhi kejahatan.
Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda :
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ
فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ
فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“ ... dan
jika salah seorang diantara kamu sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata
keji dan bertengkar, jika ada orang lain yang mencaci atau mengajaknya bertengkar,
katakanlah : ‘aku sedang berpuasa’... “
(Sahih
Bukhari 1771)
Selain bulan edukasi, Ramadhan juga merupakan
bulan evaluasi keimanan seorang muslim di dunia nyata. Ibadah puasa memiliki
kekhasan tersendiri yang menjadikannya sebagai bahan evaluasi keimanan umat
Islam. Hal ini juga yang menjadikan pahala puasa menjadi sangat privat antara
Allah dan orang yang berpuasa itu sendiri, sebagaimana disebutkan dalam hadits
qudsy di atas. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali memberikan penjelasan logis
terkait evaluasi keimanan dalam ibadah puasa. Menurut beliau, hakikat ibadah
puasa adalah menahan (Kaff) dan meninggalkan sesuatu (Tark) yang
pada dasarnya bersifat rahasia (privat) yang tidak bisa disaksikan. Berbeda
halnya dengan amal keta’atan lainnya yang bisa disaksikan oleh sesama makhluk,
yang benar-benar bisa menyaksikan ibadah puasa hanyalah Allah SWT.[4]
Keimanan seorang muslim yang pada dasarnya adalah komitmen
komprehensif terhadap apa yang diyakininya akan diuji di bulan Ramadhan. Jika
keimanannya kuat, maka ia akan senantiasa melaksanakan amaliyah ibadah puasa
dengan penuh ketulusan hati dan kesadaran bahwa Allah akan senantiasa mengawasi
gerak langkahnya. Oleh karena itu, pahala ibadah puasa juga bersifat privat,
entah sepuluh, dua puluh atau tujuh ratus kali lipat, yang tahu hanya Allah
semata. Bagi mereka yang lulus evaluasi keimanan di bulan Ramadhan, Allah
akan menjanjikan pengampunan dosa, sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang menunaikan shalat pada bulan ramadhan dengan penuh
keimanan dan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu. (sahih Muslim no. 1266)
2. Misi Revolusioner Ramadhan : Dari Intensitas
Ritual Menuju Intensitas Sosial
Tak dipungkiri lagi bahwa bulan Ramadhan
merupakan klinik spiritual umat Islam. Aktivitas rohani berupa ibadah
ritual dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan bulan lainnya memberi
kita banyak “bonus”. Di siang hari, ritual al-Imsak / menahan diri dari segala hal yang
membatalkan puasa sejak matahari terbit sampai terbenam sepenuhnya merupakan
bentuk ibadah. Memasuki malam hari, berbagai ritual lain seperti shalat
tarawih, tadarus, dsb. kian menambah kebugaran spiritual kita. Apa hikmah
terselubung dibalik klinik rohani yang kaya akan bonus ritual-spiritual itu ?.
Dalam
perspektif historis, bulan Ramadhan merupakan masa di mana Rasulullah
saw. berdiam diri secara rutin di pegunungan Makkah untuk meminta perlindungan
dari kejahatan dan ketidakadilan sosial masyarakat Arab waktu itu. Di Gua Hira,
beliau menerima wahyu pertamanya. Dengan latar seperti ini, misi penting ramadhan
terungkap, yaitu misi sosial.
Mari
kita berefleksi sejenak, mengapa Allah mewajibkan suatu ibadah yang di dalamnya
diisi dengan menahan diri dari makan dan minum ?. Di samping memiliki nilai
edukatif terkait pengendalian diri, kedisiplinan dan kesabaran, ibadah semacam
ini juga memberi kita suatu kesadaran sosial terhadap fenomena di sekeliling
kita. Dengan ritual menahan lapar dan haus, sejatinya Allah mengajari kita
untuk lebih peka sosial, bahwa masih banyak saudara kita yang hari-harinya senantiasa dihantui dengan rasa
lapar dan haus semacam itu. Dalam hal ini Rasulullah telah memberikan teladan
bagi kita :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ
النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ
جِبْرِيلُ
“Nabi
Muhammad saw. adalah orang yang paling dermawan dalam segala kebaikan dan
kedermawanan yang paling beliau tonjolkan adalah saat bulan ramadhan ketika ditemui
Jibril ... ”. (Sahih Bukhari no. 1769)
Selebrasi sosial bulan ramadhan semakin
terasa ketika menjelang hari raya. Hari-hari terakhir ramadhan merupakan
ajakan bagi setiap orang yang berpuasa untuk ikut ambil bagian dalam sesuatu
yang disebut “arti hari raya” bagi orang yang tidak mampu. Dalam hal ini Islam
mengakhiri ramadhan dengan penyucian diri sebagai tanda sahnya puasa,
yaitu zakat fitrah. Dengan demikian, selebrasi hari kemenangan ditandai dengan
selebrasi sosial dalam zakat fitrah. Demikianlah bagaimana Islam menghendaki
revolusi ritual menuju kesadaran sosial terkait paktek ibadah puasa. Dengan
demikian, ramadhan mengajari kita akan arti penting kehadiran kita di
alam fana ini, bukan hanya memperjuangkan diri sendiri, namun kita juga ada untuk
mereka yang membutuhkan uluran tangan kita.
3. Ramadhan : Bulan Metamorfosis Amal
Perbuatan
Walhasil, dengan bebagai karakternya yang
multidimensional, mulai dari dimensi ritual, sosial hingga misi edukatif, ramadhan
hendaknya dipandang sebagai bulan muhasabah. Dalam hal ini, ramadhan dijadikan
sebagai ajang untuk melakukan metamorfosis amal perbuatan. Hal ini diwujudkan
dengan transformasi amal perbuatan menuju arah yang lebih baik.
Layaknya ulat bulu, meskipun pada awalnya ia merugikan
manusia dengan bulu-bulu di tubuhnya, namun pada saatnya ia akan “berpuasa”
dengan menjadi kepompong, dan akhirnya ketika saatnya tiba ia akan keluar dari
peraduannya sebagai makhluk lain yang merupakan simbol kendahan, yaitu kupu-kupu.
Janganlah kita seperti ular, meskipun ia berulang kali berganti kulit, namun
tetap saja ia merupakan binatang yang merugikan manusia.
D.
Kesimpulan
Refleksi
yang mendalam tehadap arti penting ibadah puasa ramadhan membawa kita
kepada suatu kesimpulan bahwa ibadah puasa sama sekali berbeda dengan
melaparkan diri. Ketika berat badan seseorang turun karena puasa, hal itu tidak
jauh berbeda dengan diet yang biasa dilakukan oleh orang yang menginginkan
berat badannya berkurang. Namun di balik itu, terdapat nilai-nilai lainnya yang
terselubung dalam ibadah puasa ramadhan. Karakter edukatif ramadhan yang
dihiasi dengan intensitas ritual dalam “klinik rohani” dan diakhiri dengan
selabrasi sosial di hari kemenangan, sejatinya merupakan bekal bagi kita untuk
bermetamorfosis menuju arah lebih baik.
[1] . Ibnu
Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah,
2 : 440, CD Maktabah Syamilah
[2] . Mu’jam
Maqayis al-Lughah , 3 : 323, CD Maktabah Syamilah
[3] . Farid
Essack, On Being A Muslim ( Yogyakarta: IRCiSoD, 1999, terj. Nuril
Hidayah ), hlm. 56
[4] . Imam
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, (al-Haramain, tanpa tahun), jld. 1. hlm.
232.
0 komentar:
Post a Comment