January 03, 2013

Pre-Socratic Series: 1. Thales



Thales of Miletus

1. Sketsa Biografis

Jika kita bertanya siapa orang barat pertama yang benar-benar menggunakan akalnya dengan serius untuk memikirkan alam semesta ?. Jawabannya adalah Thales of Miletus, filosof Yunani pertama. penggunaan akal dengan serius di sini berarti independensi akal dari berbagai mitologi yang pada era sebelum Thales merupakan basis berfikir umat manusia. Menurut Encyclpaedia Britannica[1], ia dikenal sebagai filosof Yunani Kuno pertama berdasakan konsensus. Ia adalah orang yang mengawali lembar sejarah filsafat barat, sebagaimana dinyatakan oleh Bertrand Russel: “western philosophy begns with Thales”[2]

Sebagian mengidentifikasinya sebagai bapak filsafat yang dikenal dengan kosmologinya, bahwa air adalah bahan dasar segala sesuatu ( the essence of all matter) dengan bumi terapung di atasnya. Ia mengajukan pertanyaan yang amat mendasar, yang jarang diperhatikan orang; juga orang zaman sekarang: what is the nature of the world stuff ?. Apa bahan dasar alam semesta ini ?. Tak pelak lagi, pertanyaan ini amat mendasar. Terlepas dari apapun jawabannya, pertanyaan ini saja telah mengangkan namanya menjadi filosof pertama. Ia sendiri menjawab air. Thales mengambil air sebagai dasar alam semesta barangkali ia melihatnya sebagai sesuatu yang amat diperlukan dalam kehidupan, dan menurut pendapatnya bumi ini terapung di atas air.[3] Pertanyaan ini merupakan pintu gerbang dari transisi era mitologis menuju era logis. Disebutkan bahwa ia sering berlayar ke Mesir dan mempelajari ilmu ukur di sana dan membawanya ke Yunani.[4]

Thales lahr di kota Miletus, sebuah kota Yunani kuno yang terletak di Asia kecil (Asia Minor) yang sekarang merupakan wilayah provinsi Aydin, Turki.[5] Ia dikenal sebagai salah satu dari legenda seven wise man (tujuh orang bijak) atau hoi hepta sophoi, dalam tradisi filsafat pre-socratic bersama enam orang lainnya: Cleobulus of Lindos , Solon of Athens, Chilon of Sparta, Bias of Priene, Pittacus of Mytilene, Periander of Corinth. Tidak banyak referensi historis terkait Thales, tidak ada bukti-bukti tertulis tentang filsafatnya yang sampai kepada kita, sehingga pencapaian Thales dalam filsafat sulit diakses. Namun, dengan dimasukannya Thales dalam jajaran seven wise man, setidaknya ada beberapa referensi yang membincang Thales dan petuah-petuahnya, seperti “know thyself” (kenali dirimu) dan “nothing in excess” (jangan berlebihan). Selain sebagai filosof, ia juga dikenal sebagai seorang ahli politik, astronomi dan geometri. Teorema Thales merupakan salah satu teori matematika tertua yang terkenal.

2.  Beberapa Leksikon Kuno Terkait Thales


Dalam Encyclopaedia Britanica disebutkan beberapa tokoh Yunani kuno yang pernah menulis tentang Thales. Herodotus (484-485 SM), salah seorang sejarawan Yunani kuno, meneyebutkan bahwa Thales merupakan seorang penasihat politik yang mengadvokasi kota-kota di daerah Aegean, Iona. Callimachus (305-240 SM), seorang pujangga Yunani, sempat merekam suatu kepercayaan tradisional bahwa Thales memberikan nasihat kepada navigator kapal laut untuk mengendalikan kapalnya dengan berdasarkan kepada  rasi bintang ursa minor (the little bear) daripada ursa mayor (the great bear). Keduanya merupakan konstelasi bintang di belahan bumi utara. Ia juga mengatakan bahwa Thales mampu mengukur piramida di Mesir dan jarak kapal di laut dari pantai dengan ilmu geometri yang dimilikinya. Xenophanes (560-478 SM) menyebutkan bahwa Thales telah berhasil memprediksi gerhana bulan yang menghentikan pertempuran antara Raja Alyattes, dari Lydia dan Raja Cyaxares, dari Media pada tanggal 28 Mei 585 SM. [6] Menurut Richard McKirahan, Thales mampu memprediksi gerhana tersebut setelah ia mempelajari catatan-catatan astronomi yang tersimpan di Babilonia sejak 747 SM.[7]

Selanjutnya, klaim yang menyebutkan bahwa Thales merupakan filosof pertama yang membuka lembaran sejarah filsafat Eropa dicetuskan terutama oleh Aristoteles (384-322 SM). Menurutnya, Thales merupakan orang pertama yang memikirkan alam semesta dengan memperkenalkan sebuah konsep single material substratum  (dasar material tunggal alam semesta), yakni air (water) atau embun (moisture).[8] 

3. Teori-Teori Thales

 A. Pemikiran Filsafat

Signifikansi filsafat Thales ini terletak pada pilihannya kepada air sebagai substansi yang esensial (substantial essence) alam semesta. Dalam hal ini ia telah menghindari  simplifikasi fenomena sekitarnya. Dalam pencarian gejala alam, secara langsung ia berdiskusi dengan alam itu sendiri dengan tidak bersandar kepada sebab-sebab anthropomorphis belaka. Mulai dari Thales, alam berfikir kemanusiaan digeser dari mistis dan mitis menuju alam rasional.

Pada masa itu, orang-orang Yunani selalu menjelaskan fenomena alam dengan menisbatkannya kepada para dewa antropomorfik. Dalam hal ini, Thales menolak tardisi semacam itu, ia melakukan revolusi intelektual dengan mencoba menjelaskan fenomena alam via eksplanasi rasional. Misalnya terkait fenomena gempa bumi, ketika masyarakat Yunani melihat gempa bumi sebagai sesuatu yang dihasilkan oleh proses supranatural,Thales menjelaskan bahwa gejala alam tersebut terjadi karena bumi mengapung di atas air dan ia terjadi karena bumi digoyang oleh ombak-ombak di laut.



Air Sebagai Substansi Segala Sesuatu


Pemikiran Thales yang paling terkenal adalah tesis kosmologi-nya yang bermula dari air. Penjelasan paling komprehensif terkait kosmologi Thales ini terdapat dalam kutipan Metaphysis-nya Aristoteles:

.. bahwa dari apa sesuatu itu ada, dari mana sesuatu itu terbentuk untuk yang pertama kalinya, dan akan kemana akhirnya sesuatu itu akan berujung, substansi merupakan hal yang ada di dalamnya.....

.... Untuk itu perlu ada beberapa “nature”, satu atau lebih, di mana sesuatu lainnya berasal dan disimpan .... Thales, pendiri jenis filsafat ini mengatakan bahwa itu adalah air ... [9]

Demikianlah kutipan Aristoteles tentang kosmologi Thales, bahwa dasar segala sesuatu adalah air. Selanjutnya, Heraclitus Homericus juga pernah membincang tentang kosmologi Thales. Ia mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulannya setelah mengamati substansi zat lembab yang kemudian  menjadi udara, lumpur dan bumi/zat padat. Tampaknya Thales melihat bumi sebagai pemadatan dari air di mana bumi itu mengambang dan dikeliling lautan.[10] Thales sendiri merupakan seorang Hylozoist, sebuah sebutan bagi mereka yang meyakini bahwa semua materi itu hidup.

            B. Teorema Thales

 Dalam ilmu geometri, Thales dikenal karena telah menyumbangkan suatu teori yang disebut teorema Thales. Teori ini berisi :

1.      Sebuah lingkaran terbagi dua sama besar oleh diameternya

2.      Sudut bagian dasar dari segitiga samakaki adalah sama besar

3.      Jika ada dua garis lurus bersilangan, maka dua sudut yang saling berlawanan akan sama

4.      Sudut yang terdapat dalam setengah lingkaran adalah sudut siku-siku.

5.  Sebuah segitiga terbentuk bila bagian dasarnya serta sudut-sudut yang yang bersinggungan dengan bagian dasar tersebut telah ditentukan.[11]







Jika AC adalah sebuh diameter, maka sudut B akan selalu siku-siku


C. Thales dan Tuhan

 Thales telah menetapkan metode berfikirnya kepada suatu objek sebagai sesuatu yang berubah menjadi objek lainnya, seperti air berubah menjadi bumi, dst. Lantas bagaimana dengan perubahan itu sendiri ?, bagaimana kekuatan untuk merubah suatu benda ke benda lain bisa dijelaskan ?.

Thales mencari jawabannya melalui batu magnet “loadstone” yang bisa menggerakan besi dan batu ambar. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Thales merupakan penganut aliran Hylozoist yang meyakini bahwa segala sesuatu memiliki jiwa yang karenanya ia hidup. Loadstone merupakan satu dari dua batu mineral yang mengandung magnet alami, batu lainnya pyrrhotite memiliki daya magnet yang lebih lemah. Sedangkan ambar merupakan resin pohon yang telah mengeras menjadi fosil. Dalam batu magnet dan ambar ini ia melihat adanya suatu kesamaan dengan kekuatan makhluk hidup untuk bertindak. Maka dalam pandangannya, keduanya hidup.

Batu magnet dan ambar, keduanya hidup dalam pandangan Thales, jika demikian, maka tidak ada perbedaan antara yang hidup dan yang mati. Ketika ia ditanya kenapa ia tidak mati saja jika memang tidak ada perbedaan antara keduanya ?, ia menjawab : karena tidak ada bedanya !.

Jika sesuatu itu hidup, maka ia memiliki jiwa. Sebenarnya konsep ini bukanlah sebuah inovasi. Kepercyaan yang berkembang sebelumnya di daerah Mediterania juga menyatakan bahwa semua gejala-gejala natural disebabkan oleh intervensi ketuhanan. Secara konklusif, sumber yang ada mengatakan bahwa Thales meyakni bahwa segala sesuatu itu dipenuhi oleh tuhan-tuhan (all things were full of gods). Namun dalam hal ini Thales mencari sesuatu yang lebih general, yaitu suatu substansi fikiran universal.

“Thales”, kata Cicero, “ menganggap bahwa air merupakan prinsip segala sesuatu, dan tuhan adalah fikiran yang membentuk dan menciptakan segala sesuatu dari air”.


End Notes :



[1]. Encyclopædia Britannica, Thales of Miletus,. (Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite.  Chicago: Encyclopædia Britannica 2010).
[2] . Bertrand Russel, The Story of Western Philosophy, (New York, Simon and Chuster).
[3]. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Rosda Karya, 1998), hlm.
[6] . Encyclopædia Britannica, Thales of Miletus
[7] . Richard McKirahan, “Presocratic Philosophy” In The Blackwell Guide to Ancient Philosophy, Christopher Shields (ed.) (Malden, Blackwell Publishing, 2003), hlm. 5-6
[8] . Encyclopædia Britannica, Thales of Miletus
[10] . Ibid

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons