3. Perspektivisme
Perspektivisme
merupakan suatu aliran filsafat yang dikembangkan sendiri oleh Nietzsche. Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia, perspektivisme diartikan sebagai mazhab yg
menganggap bahwa ilmu itu selalu bersifat relatif. Secara terminologis,
perspektivisme merupakan aliran filsafat yg mengajarkan bahwa setiap
pengetahuan pada hakikatnya adalah suatu interpretasi belaka yang bergantung
pada keadaan tempat berdirinya seseorang terhadap objek yang diketahuinya.
Perspektivisme
memiliki kemiripasn dengan relativisme, hanya saja perspektivisme ini lebih
menekankan perspektif subyek tertentu, di samping banyaknya posibilitas dan
skema konseptual yang meniscayakan relativitas klaim “ benar “ dan “ salah “.
Perpektivisme Nietzsche ini dapat terlacak terutama dalam pandangannya seputar
moralitas, yang ia presentasikan pertama kali dalam Human, All to Human. Ia
menolak bahwa moralitas adalah tolok ukur segalanya, justru ia bersifat
perspektifikal. Berlawanan dengan konsep para moralis, ia berpandangan bahwa
moralitas tidak bersifat inhern, ia adalah “ temuan “ manusia. Di samping itu,
moralitas tidaklah sama di setiap kultur dan di setiap waktu. Secara eksplisit,
Nietzsche mengkontraskan peneltiannya kepada konsep moralitas Kristiani dan
Yunani yang secara tipikal mengklaim bahwa konsep moral Yunani secara luas
lebih superior.[1]
Perspektivisme
Nitzsche ini dapat terlacak dalam beberapa pemikiran filsafatnya. Dalam Beyond
Good and Evil, Nietzsche mengemukakan sejarah moralitas. Secara tidak
langsung, dengan formulasinya ini ia menegaskan bahwa moralitas telah mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Ia juga menyatakan bahwa moralitas dapat
digambarkan secara naturalis, namun suatu gambaran moralitas tidak bisa timbul
dari yang lainnya, semuanya bergantung pada realitas yang ada. [2]
4. Kelemahan Akal
Akal dalam bahasa diibaratkan sebagai orang tua yang dungu. Saya khawatir
kita tidak bisa melepaskan diri dari Tuhan hanya karena tata bahasa (Nietzshe,
1968: 35)
.... Tetapi sejak lama saya menyatakan perang terhadap
optimisisme kemampuan akal (Nietzsche, 1968: 535)[3]
Kegiatan utama dalam filsafat dan ilmu pengetahuan ialah kegiatan berfikir.
Tujuannya ialah untuk mendapatkan kebenaran. Dalam hal ini akal lebih dipercaya
sebagai pemegang otoritas tertinggi daripada aspek-aspek manusia yang lainnya. Sebutan
animal rationale bagi manusia tiada lain ialah karena rasio / akal yang
dimiliki manusia, sehingga dengan hal ini ia dibedakan dari makhluk yang
lainnya.
Anggapan umum semacam ini
ternyata tidak berlaku bagi Nietzsche. Dalam hal ini, ia menyatakan perang
terhadap kemapanan akal. Pandangan Nietzsche kepada konsep akal / rasio lebih
radikal dari hanya sekedar skeptisisme akal. Hal ini nampak jelas dalam beberapa
karyanya, seperti disebutkan di atas. Tak heran jika ia mengkritik seluruh
pandangan Descartes dan Kant yang melandaskan konstruksi filsafatnya pada kemampuan
akal dalam mendapatkan kebenaran.
Menurut Nietzsche,
berpikir – sebagaimana dikatakan oleh para epistemolog – tidak pernah tejadi
sama sekali. Ia hanya merupakan fiksi arbitrer yang muncul dengan menyeleksi
satu unsur dari proses yang ,mengeliminasi semua yang tidak berguna. Bagi
Nietzsche, subyek ialah subyek yang bertubuh. Subyeklah yang mempunyai
kekuasaan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Jauh sebelum
logika memasuki kesadaran, kita tidak melakukan apapun selain mengintrodusir
postulat ke dalam peristiwa-peristiwanya.
Pertanyaan yang lebih
jauh, apakah yang nampak logis itu benar adanya ? . Bagi Nietzsche, akal tidak
mampu membuktikan mana yang benar dan mana yang salah. Adalah terlalu naif jika
akal dipercaya dapat menentukan kebenaran. Oleh karenanya, dalam hal ini
Nietzsche tergolong filsuf realis sejati dan menentang semua konsep para
idealis, seperti Descartes yang ia sebut sebagai “ fanatik moral “ yang
menyerahkan segalanya kepada akal.
Pokok-Pokok Ajaran Nietzsche
1. The Will To Power
Formulasi “ The Will to
Power “ telah dikenal dengan baik oleh para sarjana yang mengkaji pemikiran
Nietzsche dan oleh kalangan masyarakat luas. Nietzshe mengembangkan konsep ini
dari dua sumber utama: Schopenhauer dan kehidupan Yunani kuno. Schopenhauer
mengadopsi konsep ini dari gagasan timur dan berkesimpulan bahwa bahwa alam
semesta dikendalikan oleh suatu kehendak buta. Nietzsche mengenali adanya
kekuatan di dalam gagasan ini, dan menerapkannya dalam kaitannya dengan
kemanusiaan. Ketika Nietzsche sedang melakukan studi terhadap gagasan-gagasan
Yunani kuno, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yg menjadi pendorong di dalam
peradaban mereka semata-mata adalah bagaimana mencari kekuasaan, dan bukan
untuk mencari sesuatu yg lebih berguna atau yg memberikan manfaat.
Semua
konsep dan masalah yang dibicarakan selalu bermuara pada kehendak untuk
berkuasa, bahkan agama sekalipun. Walter Kaufman menegaskan :
Kehendak untuk
berkuasa adalah titik pusat dari filsafat Nietzsche. Dalam buku Aporishma- nya,
ia menemukan kehendak untuk berkuasa, berkarya dalam segala tingkah laku dan
penilaian manusia. Dalam Zarathustra, ia mengugkapkan bahwa kehendak untuk
berkuasa merupakan motif dasar dan menegaskan bahwa kehendak itu terdapat pada
semua makhluk hidup (Kaufman, 1967: 510)
Nietzsche menyimpulkan bahwa kemanusiaan didorong oleh
suatu Kehendak untuk Berkuasa. Semua tindakan kita berasal dari kehendak ini.
Namun beberapa ilmuwan yang meneliti pemikiran Nietzsche membantah bahwa
formulasi ini timbul dari ajaran scopenhaur yang mempengaruhinya.
Sebagian berpendapat bahwa ide ini merupakan batu pertama (cornerstone)
yang diletakkan olehnya. Sebagian lagi telah menunjukan kekurangan published
mentions formulasi ini dan menyatakan bahwa ide ini tidak terlalu sentral
bagi Nietzsche.[4]
Membincang tentang Will to Power, tentunya tidak bisa lepas dari suatu
ajarannya yang lain, Etternal Recurrence.
2. Etternal Recurrence
Dalam salah
satu magnum opus- nya, Also
sprach Zarathustra, Nietzsche mengkontraskan salah plot ceritanya kepada formulasi etternal
recurrence. Tersebutlah dalam Zarathustra :
Untuk menebus mereka yang tinggal di masa lalu dan untuk
menciptakan mereka kembali kedalam ‘ dengan demikian aku mengkhendaki ini
‘ – yang aku sendiri harus memanggil
penebusan – semua itu adalah fragmen, teka-teki, kecelakaan menyeramkan –
sehingga proses kreasi akan berkata tentang itu, tapi dengan demikian aku
mengkhendaki ini, dengan demikian aku menghendaki ini. (Zarathustra, pp. 251-3). [5]
Menurut Nietzsche, kita seharusnya bertindak seakan-akan hidup
yang kita jalani ini akan terus berlanjut dalam satu pengulangan yang abadi (Eternal
Recurrence). Setiap momen yang telah kita jalani dalam kehidupan ini akan
dijalani berulang-ulang untuk selama-lamanya. Ia menganggapnya sebagai sesuatu
yang bisa dipercaya. Beranjak dari formulasi semacam ini, Nietzsche menasihati
umat manusia untuk menjalani kehidupan secara enjoy dan optimal.
Formulasi etternal
recurrence ini mendominasi plot Zarathustra. Terkadang, ide ini
membawanya kepada beberapa model visi dan mimpi. Di sisi lain, ia nampaknya
enggan untuk mengkategorisasi dan
menerima implikasi idenya ini. Terutama, ketika saat-saat berputus asa, ia
merasa ngeri dan jijik jika hal tersebut berlaku juga bagi orang-orang jelata,
termasuk orang-orang rendahan dari seluruh ras manusia. Elang dan ular yang
merupakan rekannya mendorong zarathustra untuk berhenti berbicara dan
menyanyi sebagai gantinya. Sikap Nietzsche terhadap Etternal recurrance
yang terjadi pada rakyat jelata menunjukan elitisme Nietzsche. Secara
konsisten, Nietzsche dan Zarathustra berpendapat bahwa semua manusia tidaklah
sama. [6]
3. Tuhan Telah Mati :
Revolusi Nilai-Nilai Baru
Pemikiran bahwa Tuhan telah mati merupakan
“ Ocehan “ provokatif Nietzsche dalam karyanya, The Gay
Science ( Die fröhliche Wissenschaf ) yang kemudian
menjadi salah satu karateristik asasi epistemologi nihilisme-nya. Nietzsche
mulai dengan melancarkan serangan terhadap kelekatan kita pada perilaku tentang
baik dan buruk, yang secara umum diambil dari tradisi Yunani kuno dan
Yahudi-Kristiani. Hal ini berarti landasan moral kita berasal dari masyarakat
yang berbeda dengan yang ada sekarang, dan berasal dari agama-agama yang sudah
tidak dipercayai banyak orang. [7]
Beranjak dari “
kepura-puraan “ seperti itu, Nietzsche mengkhendaki revolusi dan rekonstruks
besar-besaran terhadap nilai yang ada. Revolusi ini sampai pada klimaks-nya
ketika ia si orang gila (madman) berteriak bahwa Tuhan telah mati dan kita
semua sebagai pembunuhnya kepada orang-orang – yang dianggapnya – atheis yang sudah tidak mempercayai Tuhan
apapun.
Sebagaimana dijelaskan di atas, hal ini bukan berarti Nietzsche sama sekali
mengingkari keberadaan Tuhan, “ ocehan “ ini hanya sebatas “letusan “ emosional
dari revolusi nilai baru yang diinginkan Nietzsche. Ketika Tuhan telah mati,
lantas bagaimana kita menyusun ulang kekosongan nilai kita ?, di sinilah muncul
sang pahlawan yang dinanti-nanti, Übermensch.
4. Übermensch
Kata Übermensch (dalam
bahasa Ingrris: Overman, Overhuman,
Above-Human, Superman) yang berarti manusia
super, merupakan salah satu pemikiran filsafat-imajinatif Nietzshe yang paling
signifikan. Nietzsche memposisikan Übermensch sebagai tujuan kemanusiaan yang
tertuang dalam Zarathustra. Übermensch,
manusia imajiner ciptaan Nietzsche yang akan menyelamatkan kemanusiaan dari
segala krisisnya ini sering disebut berdampingan dengan The Death of God (kematian
tuhan). Gagasan imajiner ini berkaitan
erat dengan salah satu landasan konstruksi berfikirnya, the will to power, yang
menjadikannya sebagai free-thinker.
Gagasan tentang Übermensch ini banyak diungkapkan
dalam Zarathustra, dalam hal ini bahkan Zarathustra
merupakan konfigurasi Übermensch, seperti dikatakan :
Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu.
Übermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru.
Hendaknya Übermensch menjadi makna dunia ini.[8]
Übermensch
diharapkan akan muncul ketika nilai tidak lagi mengambil peran penting bagi kehidupan
manusia, karena manusia telah berhasil membunuh Tuhan. Diperlukan sebuah
keniscayaan yang akan memberi makna tertinggi untuk mengisi kekosongan ini.
Pengisian nilai atas kekosongan ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang
berhasil melepaskan diri dari cengkraman Tuhan, dialah Übermensch. Ia adalah
suatu prototype dari manusia sesungguhnya, yaitu manusia yang berani
mengafirmasi dirinya sebagai pemilik tunggal kehendak berkuasa. Selain itu Übermensch
juga dimengerti sebagai suatu entitas yang melekat dalam diri manusia yang mau
mengoptimalkan potensi vitalnya dalam memaknai dunia yang telah kehilangan
berbagai macam nilai.
Übermensch tidak dilahirkan melalui alam, namun ia lahir dari seleksi antar
manusia. Proses seleksi tersebut harus diimbangi dengan kecerdasan atau bahkan
kelicikan / kebengisan sebagai upaya untuk menciptakan daya estetis dari Dionysian.
Nietzsche mencontohkan Napoleon sebagai prototype dari Übermensch.
Karakter Napoleon yang bersebrangan dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat
dan juga perangainya yag dianggap buruk oleh mayoritas orang, justru dipuji
oleh Nietzsche.
C. Sisi Aksiologis
Keseluruhan
konsep filsafat Nietzsche merupakan “ pedang bermata dua “. Seluruh pemikiran
filsafatnya yang terkesan terlalu fulgar, kurang ajar, dan melewati batas zaman menjadikan
pemikiran filsafatnya sebagai sebuah filsafat zona eksklusif. Pemahaman yang
parsial terhadap pemikirannya akan berakibat fatal. Sebut saja pernyataaan “
Tuhan telah mati “ yang jika dipahami secara parsial dan tekstual tanpa
meneliti lebih lanjut motif, konteks, dan hal-hal lain yang berkaitan erat
dengan pernyataan tersebut, tentu akan menimbulkan mis-interpretasi terhadap
gagasan Nietzsche. Terlebih mayoritas karya-karyanya bersifat aforisme,
sehingga perlu penelaahan yang mendalam untuk memaknai gagasan Nietzsche yang
sebenarnya.
Jelasnya, semua
pernyataan Nietzsche dengan kapasitasnya sebagai seorang filosof papan atas
sekaligus merangkap sebagai filolog, seniman, dan sastrawan yang mungkin
berbeda “ maqom “ dengan kita, bukan merupakan pernyataan yang
transparan. Diperlukan pemahaman yang integral untuk dapat benar-benar memahami
gagasan Nietzsche. Betapapun Nietzsche menyajikan filsafatnya dengan kasar,
provokatif, dan kurang ajar, terdapat banyak nilai aksiologis dari gagasan-gagasan gilanya yang
revolusioner.
Sisi Eksistensial Übermensch
: From Zero to Hero
Dua formulasi komplementer dari
epistemologi Nietzsche, nihilisme dan vitalisme, secara tersirat memiliki
banyak nilai-nilai eksistensial. Beranjak dari “ tamparan “ realitas di sekitarnya,
Nietzsche mencoba melakukan sesuatu yang jarang dilakukan banyak orang pada
saat itu, “ berani membebaskan kebenaran yang terpasung “. Dengan keberanian mendobrak weltanschaung dan
mainstream yang ada pada saat itu, Nietzsche menganggap setiap komunitas
yang ia jumpai telah “ berkhianat “ kepada nilai-nilai konvensional yang
disepakati bersama, termasuk agama. Dunia telah memasuki masa yang sangat krusial,
karena pada saat itu nilai-nilai tidak lagi memiliki peranan penting bagi
kehidupan manusia. Dengan semangat “ vitalisme “-nya yang membara, ia berusaha
untuk mencari solusi alternatif bagi masalah-masalah krusial tersebut, hingga
akhirnya ia sampai kepada “ nihilisme “.
Nihilisme
Nietzsche bukanlah merupakan pengkosongan atau penihilan nilai semata tanpa disertai adanya usaha untuk
mencari solusi rekonstruktif. Jika dipahami demikian, maka nihilisme Nietzsche
tidak ada bedanya dengan “ pembantaian “ nilai-nilai secara membabi buta. Di
sini kami melihat justru Nietzsche menjadikan nihilisme sebagai motif dan titik
tolak vitalnya untuk mencapai rekonstruksi nilai-nilai yang baru secara utuh,
mulai dari nol (from zero). Sosok Übermensch
yang diciptakan Nietzsche sebagai penyelamat krisis ini, merupakan klimaks
vitalisme Nietzsche dalam mengatasi “alienasi “ nilai-nilai dalam masyarakat
manusia yang berawal dari nihilisme tadi. Di sinilah kita bisa melihat sisi
eksistensial Übermensch yang muncul dari nihilisme Nietzsche. From zero to
Hero.
Perspektivisme : Menyapu Bersih Romantisasi
Salah
satu prinsip asasi yang melandasi filsafat Nietzsche ialah pandangan
perspektivisme. Erat kaitannya dengan nihilisme-vitalisme sebagaimana tersebut
di atas, perspektivisme Nietzsche meniscayakan reletivisme dan
kontekstualisasi. Melalui perspektivisme-nya ini, Nietzsche menelaah ulang
konsep moral masyarakat di zamannya yang ia anggap sebagai romantisasi belaka
dari konsep moral Yunani dan Yahudi-Kristiani.
Secara
konklusif, konstruksi pemikiran Nietzsche berorientasi pada kontekstualisasi.
Semangat kontekstualisasi sangat diperlukan dalam berbagai aspek dalam hidup
kita, termasuk wilayah ajaran agama. Sebagai kita ketahui, semua agama yang ada
sekarang lahir pada masa pra-modern. Ketika agama tersebut bisa bertahan sampai
saat ini, maka kontekstualisai adalah sebuah keniscayaan. Mentalitas klasik
sudah tidak relevan lagi dengan konteks sekarang. Bagaimanapun, perspektif
dahulu dan perspektif masa kini tidak bisa disamakan, kecuali beberapa hal yang
bersifat – meminjam istilah agama Islam – tsawabit.
Eternal Recurrence : Katakan “ Ya” Terhadap Hidup
Nilai-nilai pokok yang harus kita
rengkuh kata Nietzsche, adalah nilai yang menegaskan kehidupan. Masing-masing
dari kita harus menjadi orang yang hidup sepenuhnya, yang menghayati kehidupan
semaksimal mungkin. Salah satu kata kesayangan Nietzsche adalah “ berani “, dan
barang kali perintah moral pertamanya ialah “ beranilah menjadi dirimu sendiri
“. Inilah cara makhluk hidup bersikap spontan terhadap alam.
Nietzsche menilai semua
nilai dengan tolok ukur sejauh mana nilai-nilai itu menegaskan kehidupan. “
Baik “ adalah segala yang menegaskan kehidupan atau yang membantu menegaskan
kehidupan. Bahkan “ Benar “ ialah segala sesuatu yang membela kehidupan, bukan
yang menentangnya. Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa orang yang paling
berjaya , paling berhasil pun akhirnya akan berakhir dengan kematian. Lalu
mereka lenyap dan dilupakan. Segalanya berujung pada ketiadaan kekal. Apa arti
semua itu ?
Nietzsche memberikan
jawaban berlapis dua. Pertama, resepnya berlaku untuk suatu kehidupan
supaya bisa hidup dengan sepenuh-penuhnya sesuai dengan ketentuan hidup itu
sendiri, sehigga hidup bisa lebih berharga demi hidup itu sendiri. Kedua,
segala sesuatu tidak berakhir pada ketiadaan kekal, melainkan akan kembali
secara terus menerus. Maka hal yang telah terjadi akan terjadi lagi secara
berulang-ulang (eternal recurrence). Untuk menjalani hidup sepenuhnya,
kita harus hidup sebagaimana yang kita inginkan, yakni hidup abadi. [9]
[1] The
Cambridge Companion to Nietzsche, hlm. 46
[2] Ibid,
hlm. 32
[3] Epistemologi
Kiri, hlm. 60
[4]
The Cambridge Companions to Nietzsche, hlm. 40
[5] The
Cambridge Companion to Nietzsche, hlm. 40
[6] Ibid,
hlm 41
[7] The
Story of Philosophy, hlm. 172
[8] The
Cambridge Companion to Nietzsche, hlm. 41
[9] The
Story of Philosophy, hlm. 177
2 komentar:
I'm gone to convey my little brother, that he should also pay a visit this webpage on regular basis to get updated from newest news update.
My page; click here
That s because stress could be a variant of the staph infection known as impetigo.
If your body doesn't develop allergic reactions, go ahead and use this method thrice a day. acne killer is often mild especially when laser epilation is performed on much smaller areas like the lip, the armpit and on the Supreme Court.
my site ... the acne killer
Post a Comment