December 29, 2012

Manusia dan Bahasa ?



A.  Manusia dan Bahasa
            Jika kita cermati, bahasa sekali waktu difahami sebagai alat (tool) dalam pengertian bahasa digunakan untuk berbuat sesuatu. Dengan bahasa pula kita memberikan penamaan dan pelabelan (naming or labeling) terhadap suatu objek. Namun di sisi lain, bahasa juga dilihat sebagai medium dalam artian kita tidak hanya sekedar berbuat sesuatu dengan bahasa (with language) melainkan kita beraktivitas dalam bahasa (within language), maka manusia dan bahasa tidak dapat dipisahkan, maka agama pun turun ke dunia ini dengan bahasa. Agama berasal dari wahyu Tuhan yang qadim yang berada di dimensi transenden, ketika ia diturunkan kepada umat manusia, tentunya bentuk wahyu yang transenden itu akan dikonversikan menjadi suatu bentuk yang dapat difahami manusia, supaya agama ini dapat masuk ke wilayah dimensi manusia, maka Tuhan menurunkan agama dengan sebuah bahasa, untuk selanjutnya dapat difahami dan diamalkan oleh manusia, inilah yang disebut bahasa agama. Menurut Komaruddin Hidayat, yang dimaksud bahasa agama setidaknya merujuk pada tiga bidang kajian wacana :

1. Ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan objek metafisis, terutama tentang Tuhan.

2. Bahasa kitab suci, terutama bahasa Al-Qur’an.

3. Bahasa ritual keagamaan.

B.  Bahasa Agama

            Secara sederhana, ketika agama yang merupakan wahyu Tuhan dikonversikan ke dalam suatu bentuk yang dapat dijangkau oleh umat manusia, maka wahyu yang metafisikal tersebut dikonversi menjadi sebuah teks suci (holly scriptures) yang berbentuk fisikal dan visual. Setiap agama memiliki kitab suci masing-masing, dalam hal ini Al-Qur’an ialah kitab suci bagi umat Islam, wahyu Tuhan yang terjelma menjadi ungkapan lisan arab. Ketika wahyu menjadi teks, maka akan timbul suatu pertanyaan yang niscaya ; bagaimana teks tersebut dapat menjadi bermakna ketika diposisikan secara relasional dengan masyarakat pembacanya ?. Berawal dari problem seperti ini, maka tugas berikutnya ialah berusaha memahami bahasa agama tersebut, yang dalam hal ini ialah sebuah teks suci.

C.  Memahami Teks

             Dalam bahasa agama, banyak digunakan ungkapan simbolik dan metaforik, maka kesalahpahaman untuk menangkap pesan dasarnya sering terjadi. Secara prinsipil, ketika kita hendak memahami sebuah teks, maka langkah prosedural yang pertama kita lakukan ialah Intertekstualitas, dalam hak ini prinsip pertama yang harus diperhatikan ialah, biarkan teks berbicara menurut dirinya sendiri. Misalnya, ketika terdapat kata dan makna dalam Al-Qur’an yang belum jelas, segera kita bertanya dan mencari pada ayat lain yang juga menggunakan kata yang sama, namun pada konteks yang berbeda. Dengan penafsiran silang dan dialektis intra-teks Al-Qur’an, maka pemahaman kata akan berkembang pada pemahaman konsep dan wawasan konteks. Di sini pertanyaan lain segera muncul. Yaitu, bagaimana kita tahu dan yakin bahwa teks ayat-ayat tertentu menafsirkan teks ayat yang lain ? , di sinilah kita meningkat pada langkah kedua yakni penafsiran.

            Lingkaran internel teks Al-Qur’an telah dimasuki oleh teks lain di luarnya, yaitu Nabi Muhammad Saw dan para penafsir lainnya, inilah lingkar teks kedua. Dalam tradisi hermeneutika Islam, pemegang otoritas paling tinggi dalam lingkar teks kedua ini ialah Nabi. Tapi benarkah jaringan interteks yang ada hanya terdiri dari kalam Allah dan kalam Muhammad ?, bagaimana peran Jibril sang mediator ?. Kemudian lagi, bukankah bahasa Al-Qur’an memberikan akomodasi dan apresiasi terhadap literatur Arab yang terkenal kefasihannya dan narasi teks-teks pewahyuan yang diturunkan kepada nabi sebelumnya ?. Untuk menanggulangi problematika tersebut, maka langkah selanjutnya ialah berdialog dengan teks.

D.  Berdialog Dengan Teks

            Teks adalah fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan. Sedangkan wacana adalah suatu aktivitas sharing pendapat atau pemikiran. Jadi wacana merupakan medium bagi proses dialog untuk memperkaya wawasan dan pemikiran dalam rangka mencari kebenaran yang lebih tinggi. Hubungan  antara fikiran, bahasa dan wacana tidak bisa dipisahkan. Meskipun bagi mayoritas Al-Qur’an dipandang sebagai teks, namun sebagian ada yang memandangnya sebagai wacana. Jika kita memahami sebuah wacana hanya dari segi ucapan literalnya, maka kita bukannya disebut orang yang jujur dan lugu, melainkan orang bodoh dan tidak komunikatif sebab makna sebuah kata ataupun kalimat selalu berkaitan dengan konteks.

            Dalam proses dialogis ini,Hermeneuika merupakan salah satu alternatif. Secara sederhana, pokok kajian hermeneutika adalah mengkaji pikiran dan perasaan orang yang telah terlembagakan dalam bahasa tulis, sementara penulisnya tidak ada di tempat. Ketika hermeneutika diterapkan dakam Kitab  suci, persoalan yang muncul ialah jarak antara Tuhan (author) dan manusia (reader) sangatlah jauh. Salah satu persoalan yang dijembatani hermeneutika adalah jarak antara penulis dan pembaca. Di sinilah persoalan interpretasi muncul. Seorang pembaca diharapkan dapat melakukan dialog imajinatif dengan pengarangnya. Ketika kita hendak berdialog dengan teks, hendaklah teks tersebut dianggap sebagai sebuah wacana. Dengan begitu kita dapat memahami bahasa agama secara komprehensif. ketika kita melakukan dialog dengan teks dengan menjadikannya sebagai sebuah wacana, maka bukan hanya kulit teks saja yang menjadi bahan dialog, melainkan sesuatu di balik teks (something beyond the text) juga akan telihat peranannya dalam proses pelembagaan teks tersebut, mengacu pada definisi awal teks yang merupakan pelembagaan sebuah wacana lisan atau yang lainnya dalam bentuk tulisan. Ketika ide-ide yang melatarbelakangi suatu  teks adalah suatu peristiwa, maka ada sesuatu di luar teks yang ikut berperan dalam pelembagaan sebuah teks, yakni peristiwa tersebut dan pikiran orang yang membuat teks tersebut sebagai representasi dari peristiwa itu. Intinya, ketika hendak menangkap  pesan suatu teks dengan akurat dan komprehensif, ada 3 dimensi yang tidak boleh lepas dari wilayah operasi kita yaitu :

ü  Text (dimensi teks)
ü  Author (dimensi pengarang)
ü  Reader (dimensi pembaca)

Artikel singkat ini ane sarikan sari bukunya Prof. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons