“Pemerintahan (goverenment) dan kepatuhan (Obedience),
keduanya senantiasa bergandengan tangan”. (Bentham, Anarchical
Fallacies, 504)
Salah
satu momen politik yang beberapa minggu terakhir sempat menjadi sorotan
berbagai media informasi adalah aksi demonstrasi anarkis yang dilakukan oleh
ribuan perangkat desa yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Indonesia
(PPDI) dan Aliansi Perangkat Desa di depan gedung DPR-RI (Jum’at/14/12/2012).
Peristiwa tersebut mengandung makna politis yang mendalam terkait etika politik
yang menimbulkan tafsiran beragam terhadap integritas politik kita dewasa ini.
Dengan peristiwa tersebut, label anarkisme semakin menemukan ruangnya dalam
percaturan politik kita; bahwa ternyata tidak hanya demo mahasiswa yang
seringkali berakhir anarkis, seakan tidak mau kalah, para elit pedesaan pun
juga bisa mengakhiri demo dengan tembakan gas air mata dari kepolisian.
Demonstrasi
dan anarkisme merupakan dua bengkalai yang harus segera dibereskan oleh
pemerintah. Jika merunut dinamika politik kita dari masa ke masa, segera kita
temukan bahwa aksi protes dengan berbagai kemasannya selalu membayangi setiap
kali pemerintah hendak mengeluarkan suatu kebijakan. Di era pasca-reformasi,
aksi demonstrasi merupakan sebuah bentuk protes yang seakan telah menjadi common
sense sebagai realitas politik. Selanjutnya anarkisme menjadi suatu label
yang selalu diidentikan dengan aksi demonstrasi. Pada tahap ini, interaksi
politik kehilangan etika dan moralnya. Disadari atau tidak, anarkisme yang
sudah membudaya merupakan suatu bentuk antagonisme yang mengganggu stabilitas.
Ia memiliki dampak yang paralel dalam beberapa sektor, termasuk sosial, politik,
budaya, dan ekonomi. Anarksime dalam suatu ranah partikular akan berimbas
kepada stabilitas ranah lain yang berkaitan.
Pertanyaan kita selanjutnya adalah mengapa anarkisme
seakan menjadi salah satu bagian dari budaya berpolitik kita dewasa ini ?. Secara
substansial, fenomena tersebut merupakan benturan (clash) antara moral
masyarakat dengan segala otonominya dan wewenang pemerintah dengan seluruh
legitimasinya. Jika mau jujur, hal tersebut sebenarnya merupakan suatu resiko
politik di era reformasi. Gerakan reformasi 1998 yang merupakan akumulasi
“suara bawah” yang sudah lelah tercengkram dalam ketegangan struktural telah membuka
sebuah episode politik yang baru bagi masyarakat Indonesia.
Di era pasca reformasi, di mana ketentraman yang dipasung telah
berganti menjadi kebebasan yang dihormati, interaksi politik mengalami
metamorfosis. Dari interaksi pasif-harmonis dengan segala ketegangannya menjadi aktif-skeptis dengan segala
kebebasannya. Di lain pihak, masyarakat semakin dibuat bosan oleh media informasi
yang menyajikan berita tentang pemerintah dengan semua pengkhianatannya. Dengan
kata lain, setiap aksi protes yang dibalut anarkisme pada dasarnya merupakan
akumulasi dari berbagai kekecewaan yang dirasakan masyarakat kepada pemerintah
yang tidak beretika secara politis. Dalam persinggungan ini, nilai etika dan moral
yang merupakan spirit integritas politik telah diabaikan oleh kedua belah
pihak.
Robert Wollf dalam In Defense of Anarchism, menegaskan bahwa
problem mendasar dalam filsafat politik adalah bagaimana otonomi moral setiap
individu bisa dibuat cocok dengan legitimasi wewenang negara (Robert Wolff:
1976). Dengan demikian, Ikhtiyar deanarkisasi politik bisa dirintis dari kedua
belah pihak. Pemerintah sebagai pemegang legitimasi wewenang harus berkomitmen
untuk menjunjung tinggi etika politik. Begitu juga masyarakat sebagai pengikat
kesatuan sebuah negara harus bisa lebih
santun dalam menyampaikan aspirasinya. Ketika keduanya sadar akan tugas
masing-masing, suatu integritas yang kokoh akan terjalin sehingga tercipta
sebuah negara yang berdikari.
0 komentar:
Post a Comment