Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Röcken,
sebuah kampung kecil yang berada di dekat Lützen sebelah barat daya Leipzig, Prusia, Jerman pada tanggal 15 Oktober 1884. Tanggal ini
bertepatan dengan hari ulang tahun raja Prusia, Friedrich Wilhem IV, oleh
karenanya ia diberi nama yang sama[1].
Istrinya bernama Franziska, Ayahnya, Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849) merupakan seorang pendeta lutherian, begitu juga dengan paman dan
kakeknya. Ia dididik dalam suasana penuh kelembutan dan kemanjaan dari ibu dan
saudara perempuannya. Ia merupakan seorang yang lembut dan mempunyai hobi
membaca, terutama injil. Hidupnya banyak dirundungi kemalangan, namun ia tidak
pernah sedikitpun mengeluh, sebagaimana semboyannya yang terkenal “ Amor
Fati “.
Dalam perjalanan
akademisnya ia banyak berkenalan dengan orang-orang besar yang kelak akan
banyak memberikan pengaruh terhadap pemikirannya, seperti Scopenhauer, Johan
Goethe, Richard Wagner, dan Fredrich Ritschl. Karir akademis bergengsi yang
pernah didudukinya ialah menjadi profesor filologi di Basel University, yang ia
dapatkan ketika ia berusia dua puluh tahun.[2]
Ketika kesehatannya mulai memburuk, ia melepaskan jabatannya ini. Ia
mengembara ke tempat yang tenang untuk
menyelesaikan karya-karyanya.
Filsafat Nietzsche tidak
bisa dipisahkan dari kehidupannya. Filsafatnya sekaligus merupakan pandangan
hidupnya. Salah satu nilai plus (value added) ketika mencermati karya
Nietzshe ialah pengetahuan tentang hidup. Ia memimpin sederet filsuf-filsuf
besar Jerman sejak Leibniz. Ia mengantisipasi pemikran abad 20 dalam banyak
hal. Ia adalah filsuf, psikolog, kritikus seni musik dan sastra, dan filolog
yang meneliti teks-teks kuno. Dalam semua tema yang disajikan, Nietzsche mampu
mengemukakan dengan gaya bahasa yang menarik dan pandangan pandangan yang
orisinal. Nilai historis Nietzsche sangatlah besar. Pemikirannya yang meloncat
dalam meramalkan masa depan sungguh sangat mengaggumkan. Ia adalah filsuf bagi
para filsuf. (Hollingdale, 1968: 10-11)
Menjelang akhir hidupnya, ia dirawat di rumah sakit
jiwa. Setelah ibunya meninggal, ia dirawat oleh saudaranya, Elizabeth. Ia
sangat sedih dan prihatin melihat kondisi Nietzsche, bahkan Nietzsche sendiri
sudah tidak menyadari akan kebesaran namanya. Pada usia 46 tahun, tanggal 25
Agustus 1900, setelah 11 tahun menderita sakit jiwa, rajawali kaum filsuf ini
mengehembuskan nafas terakhirnya di Weimar. Ia meninggalkan nama besar dan
karya-karya yang sampai saat ini tidak usang untuk dinikmati berulang-ulang.
Oleh Nietzshe, sejarah filsafat diperkaya dengan halaman-halaman baru, segar,
ganas, gemilang, dan gila.[3]
Secara kronologis perjalanan kehidupan Nietzsche dapat
digambarkan sebagai berikut :
Tahun 1849, Ayah Nietzsche meninggal.
Tahun 1850, Ibu Nietzsche memindahkan seluruh keluarganya ke Naumburg.
Tahun 1858, Nietzsche memasuki asrama sekolah di Pforta.
Tahun 1864, Nietzsche kuliah di Universitas Bonn.
Tahun 1865, pindah ke Universitas Leipzig.
Tahun 1869, mendapatkan pekerjaan sebagai dosen di Universitas Basel, Swiss.
Tahun 1889, Nietzsche mengalami gangguan mental yg tak bisa disembuhkan lagi di sebuah jalan di Turin.
Dan tanggal 25 Agustus 1900, Nietzsche meninggal di Weimar, setelah lebih dari satu dekade berada dalam keadaan sakit jiwa.
Tahun 1850, Ibu Nietzsche memindahkan seluruh keluarganya ke Naumburg.
Tahun 1858, Nietzsche memasuki asrama sekolah di Pforta.
Tahun 1864, Nietzsche kuliah di Universitas Bonn.
Tahun 1865, pindah ke Universitas Leipzig.
Tahun 1869, mendapatkan pekerjaan sebagai dosen di Universitas Basel, Swiss.
Tahun 1889, Nietzsche mengalami gangguan mental yg tak bisa disembuhkan lagi di sebuah jalan di Turin.
Dan tanggal 25 Agustus 1900, Nietzsche meninggal di Weimar, setelah lebih dari satu dekade berada dalam keadaan sakit jiwa.
Diantara karya-karya monumentalnya ialah :
v 1872 - Die Geburt der Tragödie (Kelahiran tragedi)
v 1881 - Morgenröthe (Merahnya pagi)
v 1882 - Die fröhliche Wissenschaft (Ilmu yang gembira)
v 1883-1885 - Also sprach Zarathustra (Maka berbicaralah Zarathustra)
v 1886 - Jenseits von Gut und Böse (Melampaui kebajikan dan kejahatan)
v 1887 - Zur Genealogie der Moral (Mengenai silsilah moral)
v 1888 - Der Fall Wagner (Hal perihal Wagner)
v 1889 - Götzen-Dämmerung (Menutupi berhala)
v 1889 - Der Antichrist (Sang Antikristus)
v 1889 - Dionysos-Dithyramben
2. Konsep Kunci Filsafat Nietzsche
A. Landasan Ontologis
Dalam bidang ontologis, Nietzsche
menolak terminologi Immanuel Kant yang melihat kenyataan dalam dua dikotomi,
Nomena dan Fenomena. Dalam pandangan Kant, fenomena hanya sebatas gejala yang tampak di depan subjek. Ia
bukanlah kenyataan. Kenyataan yang sebenarnya terdapat di balik fenomena.
Kenyataan sejati yang merupakan Das Ding An Sich ada di balik bendanya. Nomenalah
yang hakiki.[5]
Dalam ranah ontologis Nietzsche, konsepsi Kant di atas tidak berlaku. Baginya
sesuatu yang disebut kenyataan ialah apa yang nyata yang dapat ditangkap oleh
subjek. Objek atau benda yang nampak bagi subjek itulah yang disebut kenyataan.
Inilah kenyataan sejati yang tak bisa disangkal adanya. Menurut Nietzsche,
sesuatu yang disebut Kant sebagai kenyataan sejati atau Das Ding An Sich merupakan
suatu ajaran yang masih dogmatis, ia memandangnya sebagai sebuah lelucon belaka.
Tidak ada sesuatu lain yang tersembunyi di balik suatu benda yang tampak kepada
kita.
Menurut Nietzsche, Jika menggunakan kacamata Kant,
sampai kapanpun sesuatu yang disebut kenyataan sejati takan pernah ditemukan,
karena akal manusia takkan mampu menangkap nomena. Oleh karenanya, konsep
nomena tidak lebih dari hanya sekedar simplifikasi, imajinasi dan lelucon belaka.
Nomena tidak bisa ditangkap dan diketahui, namun hanya bisa diandaikan saja.
Dengan konsepsi ontologis semacam ini, kita bisa melihat sisi realisme Nietzsche
yang melandaskan konstruksi pemikirannya kepada empirisisme, lain halnya dengan
Kant dengan Das Ding An Sich- nya yang merupakan seorang penganut
idealisme.
Konsep ontologis Nietzsche
semacam ini berimplikasi kepada produk pemikirannya, misalnya tentang manusia. Dalam
pandangannya, manusia merupakan suatu eksistensi yang riil sebagaimana dapat
kita saksikan, yakni hakikat manusia adalah tubuh / jasadnya sendiri. Hal ini
terlihat jelas diungkapkan dalam Zarathustra : [6]
Aku adalah
tubuh dan “ jiwa “, demikian dikatakan sang anak. Apa salahnya berbicara
seperti seorang anak ?
Tapi mereka
telah bangun, dan mereka yang tahu berkata: “ Aku adalah tubuh seluruhnya.
Tidak ada yang lain, jiwa adalah sesuatu dari tubuh “ (Nietzsche, 1969: 146.)
Dengan pandangan Nietzshe
yang lebih berinklinasi kepada dominasi tubuh / fisik atas jiwa, ia
mengandaikan tubuh sebagai komponen utama / akal besar. Seluruh komponen
penyusun manusia termasuk jiwa, ruh, akal, dsb. hanya sebatas “ instrumen “
kecil yang dikontrol oleh tubuh itu sendiri, atau dalam bahasa Nietzshe, “
mainan kecil dari akal besar “.
B. Karakteristik
Epistemologis
1. Vitalisme
Siapapun tidak
menyangkal bahwa Nietzsche merupakan seorang vitalis. Namun mesipun begitu,
vitalismenya berbeda dengan Henry Bergson, di mana elan vital dipahami
sebagai daya hidup, unsur yang merupakan inti hidup. Vitalisme Nietzsche lebih
bersifat aktif. Vitalisme dalam pengertian ini mengandung arti semangat hidup.
Kecintaan terhadap hidup bukan berarti takut mati. Hidup harus dihadapi dengan
penuh keberanian, tidak ada kata menyerah. Ia selalu dalam proses menjadi.
Manusia jembatan antara binatang dan manusia agung.[7]
Vitalisme
adalah suatu doktrin yang menyatakan bahwa suatu kehidupan terletak di luar dunia materi dan
karenanya kedua konsep ini, kehidupan dan materi, tidak bisa saling
mengintervensi. Dimana doktrin ini menghadirkan suatu konsep energi, elan
vital, yang menyokong suatu kehidupan dan energi ini bisa disamakan dengan
keberadaan suatu jiwa. Pada awal perkembangan filosofi di dunia medis, konsep
energi ini begitu kental sehingga seseorang dinyatakan sakit karena adanya
ketidakseimbangan dalam energi vitalnya. [8]
Dalam vitalisme
versi Nietzsche, untuk dapat mencintai hidup dan mendapatkan semangatnya, manusia
harus terbebas dari segala kekhawatiran akan dosa-dosa, nilai-nilai
tradisional, dan segala hal yang membelenggu potensi kemanusiaannya. Hal inilah
yang melatar belakangi Les nourhtures Terrestres (Earthy Nourishment), yang
ditulis oleh Andre Gide, seseorang penulis yang terilhami oleh Nietzsche pada
1987. Kemunculan Gide sebagai penulis berbarengan dengan keberadaan Nietzsche
di Paris selama dekade terakhir abad 19, ketika ia menghabiskan akhir-akhir
hidupnya dalam keadaan sakit jiwa. Pengaruh Nietzscheisme dapat terlihat dalam
karya tersebut. Dalam komposisi prosa lirikal
itu, ia mendesak seorang muridnya, Nathanael untuk mengikuti impuls
kehidupan dan dan membiarkan dirinya menikmati sensasi. Ia mengatakan :
“ Nathanel, Aku tidak
lagi percaya dengan dosa “ [9]
Di kemudian hari, perkataannya ini akan menjadi motto hidupnya
yang memperlihatkan salah satu atmosfir dari Zarathustra.
Dalam
pandangan Nietzsche, manusia itu agung asal ia mau menjulangkan semangat
hidupnya. Menurut Sudarmaji, Keseriusan Nietzsche terletak pada ilmunya yang
merupakan bentuk pengetahuanyang penuh dengan suka cita, keberanian, dan tidak
dilandaskan pada ilmu pengetauan yang dipahami selama ini, yang kenyataannya
sering melewati batas-batas non-rasional. (Sudarmaji, 2000:12). Dari titik
tolak inilah kemudian Nietzsche sampai kepada Nihilisme.
2. Nihilisme
Dalam medan
konsep pemikiran Nietzsche, nihilisme merupakan syarat untuk menjamin
orisinalitas dalam berfikir dan berkreasi, sehingga ia benar-benar bermakna. Nihilisme sendiri adalah sebuah pandangan filosofis yang sering
dihubungkan dengan Nietzsche. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan
manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis biasanya memiliki
beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan
pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin.
Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih
baik daripada yang lain.Beberapa filsuf yang pernah menulis mengenai nihilisme
adalah Friedrich Nietzsche dan Martin Heidegger. Istilah nihilisme sendiri pertama dicetuskan oleh Ivan Turgenev dan
diperkenalkan ke dunia filosofi oleh Friedrich
Heinrich Jacobi (1743–1819).[10]
Nietzsche
berhadapan dengan sebuah istilah yang sudah lazim pada zamannya, dan ia
merefleksikan makna persis nihilsime bagi dirinya sendiri. Nihilisme sebagai
normalitas zaman yang menimpa dirinya ia jadikan bahan filsafat. Nietzsche
dalam buku kumpulan aforismenya Der Willezur Macht, membuka tulisannya
dengan gagasan tentang Nihilisme. Dia meramalkan terjadinya bahaya dari segala
bahaya, yaitu nihilisme. Semangat nihilistiknya juga banyak ditemukan di dalam
karya. Dengan tema ini ia hendak menunjukkan bahwa apa saja yang dulu dianggap
bernilai kini sudah mulai memudar dan menuju keruntuhan. Krisis ini pun akan berlangsung
terus-menerus dan takkan terelakkan.
Dalam salah
satu cerita Nietzsche yang terkenal “ madman / orang gila “, dinyatakan
: “ Tuhan sudah mati.. Tuhan terus mati.. Kita telah membunuhnya ” ( Gott
ist tot.. Gott bleibt tot.. Und wir haben ihn getotet..). ( The Gay
Science/ Die fröhliche Wissenschaft, sesi 125 ). Dalam sesi ini, si orang
gila muncul di pasar dan berteriak “ Tuhan sudah mati “ dengan kebingungan
kepada orang-orang atheist terpelajar
yang berkumpul di sana. Kemudian mereka serentak tertawa. Si orang gila
memberitahu mereka, “ kita telah membunuhnya – kamu dan aku, kita semua yang
di sini adalah pembunuh tuhan “. Ia mencoba menjelaskan sebaik mungkin
kepada orang-orang itu yang hanya terdiam seribu bahasa. Akhirnya si orang gila
membantingkan lentera yang di bawanya, dan berkata “ rupanya aku datang
terlalu cepat, belum tiba saatnya bagiku. Hal ini masih terlalu jauh dari
mereka melebihi bintang yang terjauh sekalipun. [11]
Hal ini
merupakan serangan bagi mereka para pengikut kristiani sekuler (bahkan atheist).
Orang orang yang mendengarkan si orang gila tersebut terkejut dan bahkan memperolok-oloknya.
Mereka sendiri secara kritik historis bukan lagi seorang Kristiani. Mereka
tidak mempercayai Tuhan apapun. Betapapun, dalam pandangan Nietzsche, mereka
masih memelihara prinsip-prinsip dasar moral kristiani. Mereka tidak bisa
memahami perkataan “ rupanya aku datang terlalu cepat, belum tiba saatnya
bagiku. Hal ini masih terlalu jauh dari mereka, bahkan melebihi bintang yang
terjauh sekalipun “ . [12]
Hal ini terkesan
seperti Nietzsche berjuang melawan setiap bentuk jaminan kepastian yang semakin
pudar. Jaminan kepastian yang pertama adalah bahwa Tuhan sebagaimana diwariskan
oleh agama Kristen. Jaminan kepastian adalah ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip
logika, rasio, sejarah, dan kemajuan.
Dengan pengidentifikasian
diri sebagai orang gila, Nietzsche ingin menunjukkan situasi zaman yang sudah
kehilangan apa yang dulu dianggap mapan, biasa dan wajar, termasuk yang pernah
dialaminya sendiri. Semua makna dan nilai yang menjadi pegangan (yang mencirikan
kewarasan) kini seluruhnya sudah roboh. Dengan berseru “ Tuhan sudah mati ”,
Nietzsche tidak bermaksud membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Bagi Nietzsche,
pembuktian mengenai eksistensi Tuhan merupakan cara bicara para metafisisi yang
hanya bersandar pada prinsip-prinsip logika saja. Terutama berkaitan dengan
umat kristiani di zamannya yang menurutnya sudah tidak percaya lagi pada Tuhan
manapun. Ketika itu ia memandang agama sebagai slogan saja, karena pada
kenyataannya umat Kristiani suda tidak ber-Tuhan.
Nietzsche
memberikan sebuah ramalan bahwa gerak sejarah akan mengarah kepada suatu bentuk
nihilisme yang radikal. Sebenarnya nihilisme ini tidak hanya berbunyi “Tuhan
sudah mati”, tetapi juga “tuhan-tuhan sudah mati”. Apabila dirumuskan dengan
gagasan Nietzsche sendiri, nihilisme ini berbunyi demikian:
nihilisme radikal adalah keyakinan bahwa secara mutlak eksistensi tak dapat dipertahankan lagi, bila itu menyangkut nilai-nilai tertinggi yang diakui manusia.
Nietzsche melihat bahwa banyak pemikir, sekalipun sudah membunuh Tuhan atau menolak suatu nilai suatu nilai absolut di luar dirinya, masih mencari model-model Tuhan lain yang dapat menjamin dunia dan hidupnya. Para Tuhan yang baru tersebut adalah berupa idea, kesadaran, rasio, kepastian akan kemajuan (progress), kesejahteraan umum, kabudayaan dan lain sebagainya.
nihilisme radikal adalah keyakinan bahwa secara mutlak eksistensi tak dapat dipertahankan lagi, bila itu menyangkut nilai-nilai tertinggi yang diakui manusia.
Nietzsche melihat bahwa banyak pemikir, sekalipun sudah membunuh Tuhan atau menolak suatu nilai suatu nilai absolut di luar dirinya, masih mencari model-model Tuhan lain yang dapat menjamin dunia dan hidupnya. Para Tuhan yang baru tersebut adalah berupa idea, kesadaran, rasio, kepastian akan kemajuan (progress), kesejahteraan umum, kabudayaan dan lain sebagainya.
Menghadapi nihilisme
ini, Nietzsche mengusulkan Interpretasi baru yang praktis. Manusia harus
memahami dirinya sebagai subjek masa kini dan masa depan. Untuk memperkuat
pendapatnya tentang otoritas subjek, ia melemparkan dan mengklaim “ Tuhan sudah
mati ”. Bila Tuhan sudah mati, manusia dapat bebas mewujudkan kekuasaannya.
Dengan meninggalkan Tuhan yang dianggap sebagai peletak dasar nilai-nilai,
manusia berhadapan dengan suatu kemayaan. Kemayaan inilah yang akan “ menampar
“manusia. Manusia mulai mempertanyakan nilai segala sesuatu, termasuk dirinya.
Terjadilah revolusi nilai dan norma dalam segala aspek. Di sinilah letak
hubungan nihilisme dan vitalisme dalam konsepsinya.
Menurut Martin Heidegger,
filsafat Nietzsche tentang nihilisme semacam ini merupakan “ tutup botol “
problem metafisis barat. Corak pemikiran ini menunjukan bukan hanya akhir dari
filsafat, namun juga akhir dari “ wahyu “ sebagai kunci pembuka makna atau
ketiadaan makna. Konsep subjektivitas dalam metafisik barat yang mencapai
klimaksnya dalam will to power, juga menjadi sebuah kegilaan dalam
siklus eternal recurrence. Bagi Heidegger, filsafat Nietzsche bukan
merupakan penaggulangan atas nihilisme, justru ia merupakan rintangan serius
dalam problem nihilisme.[13] Secara
konklusif, nihilisme dalam versi Nietzsche berart ke-nihil-an nilai-nilai,
baik kemanusiaan ataupun ketuhanan, sehingga dengan gagasan yang agak
provokatif, ia “ meletuskan “ emosinya
ini dengan The Death of God. Selanjutnya, Nietzsche “ menciptakan “ Übermensch yang akan menyelamatkan dunia yang
sedang chaos. Sampai di sini, sisi eksistensialisme yang beranjak dari
nihilisme Nietzsche dapat terlihat.
[1]
Standford Encyclopedia for Philosophy, Friedrich Nietzsche, dalam www.plato.stanford.edu , diakses pada 23 Juni 2011
[2] Bryan
Magee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 172
[3]
Listiyono, dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta, Ar-Ruz Media Grup,
2009), hlm. 54
[4] Friedrich
Nietzsche, dalam www.wikipedia.com ,
diakses pada 23 Juni 2009
[5] Epistemologi
Kiri, hlm.56
[6] Ibid,
hlm. 57
[7] Epistemologi
Kiri, hlm. 58
[8] Nihilisme,
dalam www.wikipedia.com , diakses
pada 24 Juni 2011.
[9]
Bernd Magnus and Kathleen M. Higgins, The Cambridge Companions to
Nietzsche, (Cambridge University, 2006), hlm. 296
[10] Nihilisme,
dalam www.wikipedia.com , diakses
pada 24 Juni 2011
[11] The
Cambrige Companion to Nietzsche, hlm. 36
[12] The
Cambrige Companion to Nietzsche, hlm. 102
[13] The
Cambridge Companion to Nietzsche, hlm. 312
0 komentar:
Post a Comment