Riwayat
Singkat
Hans-Georg Gadamer dilahirkan di kota Breslau, Jerman pada tanggal 11 Februari 1900. Petualangan
intelektual Gadamer di bidang filsafat dimulai di Universitas Breslau.
Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke kota
tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di
antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan Rudolf Bultmann.
Pada tahun 1922, Gadamer berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan
sebuah disertasi tentang Plato. Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin
Heidegger di Freiburg. Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer
untuk membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman, orang yang
sudah memiliki gelar doktor filsafat harus membuat tulisan Habilitation sebelum
bisa diangkat sebagai dosen di universitas. Di bawah bimbingan Heidegger,
akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika dialektis
Plato.
Gadamer termasuk ilmuwan anti Nazisme. Dengan demikian selama masa Hitler,
ia tidak pernah mendapatkan posisi penting. Baru setelah berakhirnya perang
dunia II, ia menerima tawaran penting di Leipzig. Karena tidak suka dengan
kehidupan politis di Jerman Timur, ia pindah ke Jerman Barat setelah menerima
tawaran posisi di Frankfurt am Main. Pada tahun 1949, ia pindah ke Heidelberg
hingga meninggal tahun 2002.
Konsep Kunci Hermeneutika Gadamer
Pokok pemikiran hermeneutika Gadamer tertuang dalam salah satu magnum opus-nya, Wahrheit und
Methode (Kebenaran dan Metode) yang keseluruhannya berbicara tentang
hermeneutika filosofis. Dalam karyanya ini, ia menghindari persoalan metode
penafsiran, dengan alasan tidak ingin terjebak pada ide universalisme metode
hermeneutika. Konsep kunci hermeneutika Gadamer dapat diringkas menjadi 4 teori
pokok :
1. Teori “Kesadaran
Keterpengaruhan oleh Sejarah” (Wirkungsgeschichtliches Bewusstein ;
Historically Effected Consciouness).
Gadamer mendeskripsikan teori ini sebagai berikut:
“ Pertama tama, Wirkungsgeschichtliches bewusstein adalah kesadaran
terhadap situasi hermeneutis. Namun, mendapatkan kesadaran terhadap sebuah
situasi bagaimanapun merupakan tugas yang sulit ... Situasi tersebut merupakan
posisi yang membatasi yang menjembatani kemampuan melihat sesuatu; situasi ini
berbentuk horizon [atau: cakrawala pemahaman], (Hans George Gadamer, Wahrheit
und Methode, 037).[1]
Dengan demikian, situasi hermeneutis
merupakan salah satu kontributor utama yang ikut membangun konstruksi pemahaman
seorang penafsir. Sebagaimana diakui Gadamer, tugas ini memang sesuatu yang
tidak mudah. Ikhtiar ini semata-mata untuk mengatasi subyektivitas seorang
penafsir ketika menafsirkan sebuah teks.
2. Teori
“Pra-pemahaman” (Vorverstaendnis; pre-understanding).
Vorverstaendnis merupakan sesuatu yang terbentuk setelah tahap
“kesadaran keterpengaruhan sejarah”. Ia merupakan suatu keniscayaan yang mesti
ada ketika seseorang menafsirkan teks, dalam hal ini Gadamer mengatakan:
“Dalam proses pemahaman, “pra-pemahaman” selalu memainkan peran;
pra-pemahaman ini diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, dimana seorang
penafsir berada, dan juga diwarnai oleh prejudis-prejudis [Vorurtele; perkiraan
awal] yang terbentuk di dalam tradisi tersebut”. (Das Problem des historischen
Bewusstsein, 5).[2]
Pra-pemahaman ini bersifat terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi dan
dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika ia sadar bahwa pre-pemahamannya itu
tidak sesuai dengan maksud teks yang ia tafsirkan.
3. Teori
“Penggabungan/Asimilasi Horison” (Horizontverschmelzung; Fusion of Horizons)
dan Teori “Lingkar Hermeneutik” (Hermeneutischer Zirkel; Hermeneutical
Circle)
Setelah pra-pemahaman sebagai suatu tahapan untuk menyempurnakan pemahaman,
selanjutnya penafsir harus bisa mengolah horison-horison yang melingkupi
aktivitas penafsirannya. Dalam hal ini, ia harus menyadari adanya dua horison
dalam dua hal: teks dan pembaca. Keduanya harus dikomunikasikan, sehingga
“ketegangan” antara keduanya dapat diatasi. Dengan demikian, ketika seseorang
membaca teks masa lalu (Uberlieferung), ia harus memperhatikan horison
historis teks tersebut.
Seorang penafsir harus mengakui adanya horison lain (teks) yang mungkin
saja berbeda atau bahkan bertentangan dengan horisonnya sendiri. Horison
pembaca, menurut Gadamer hanya berfungsi sebagai titik berpijak (Standpunkt)
dalam memahami teks.
4. Teori
“Penerapan/Aplikasi” (Anwendung; Application)
Setelah seseorang sampai pada pesan “objektif” suatu teks dengan
tahapan-tahapan di atas, selanjutnya ia bertugas mengaktualisasikan pesan
tersebut dalam kehidupan sehari hari. Namun, dengan perbedaan rentang waktu
antara munculnya teks dan masa ketika si penefsir hidup yang meliputi perbedaan
konteks sosial, politik, ekoomi dll., mengharuskan penafsir untuk melakukan
tugas terakhir; Anwendung atau “penerapan” pesan.
Menurut Gadamer, pesan yang diaplikasikan pada masa penafsiran bukan makna
literal teks, melainkan meaningful
sense (makna yang berarti) atau pesan yang lebih daripada hanya sekedar
makna literal. [3]
0 komentar:
Post a Comment