A. Manusia dan Bahasa
Jika kita cermati, bahasa sekali waktu
difahami sebagai alat (tool) dalam pengertian bahasa digunakan untuk
berbuat sesuatu. Dengan bahasa pula kita memberikan penamaan dan pelabelan (naming
or labeling) terhadap suatu objek. Namun di sisi lain, bahasa juga dilihat
sebagai medium dalam artian kita tidak hanya sekedar berbuat sesuatu dengan
bahasa (with language) melainkan kita beraktivitas dalam bahasa (within
language), maka manusia dan bahasa tidak dapat dipisahkan, maka agama pun
turun ke dunia ini dengan bahasa. Agama berasal dari wahyu Tuhan yang qadim
yang berada di dimensi transenden, ketika ia diturunkan kepada umat manusia,
tentunya bentuk wahyu yang transenden itu akan dikonversikan menjadi suatu
bentuk yang dapat difahami manusia, supaya agama ini dapat masuk ke wilayah
dimensi manusia, maka Tuhan menurunkan agama dengan sebuah bahasa, untuk
selanjutnya dapat difahami dan diamalkan oleh manusia, inilah yang disebut
bahasa agama. Menurut Komaruddin Hidayat, yang dimaksud bahasa agama setidaknya
merujuk pada tiga bidang kajian wacana :
1. Ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk
menjelaskan objek metafisis, terutama tentang Tuhan.
2. Bahasa kitab suci, terutama bahasa Al-Qur’an.
3. Bahasa ritual keagamaan.
B. Bahasa
Agama
Secara
sederhana, ketika agama yang merupakan wahyu Tuhan dikonversikan ke dalam suatu
bentuk yang dapat dijangkau oleh umat manusia, maka wahyu yang metafisikal
tersebut dikonversi menjadi sebuah teks suci (holly scriptures) yang
berbentuk fisikal dan visual. Setiap agama memiliki kitab suci masing-masing,
dalam hal ini Al-Qur’an ialah kitab suci bagi umat Islam, wahyu Tuhan yang
terjelma menjadi ungkapan lisan arab. Ketika wahyu menjadi teks, maka akan timbul
suatu pertanyaan yang niscaya ; bagaimana teks tersebut dapat menjadi bermakna
ketika diposisikan secara relasional dengan masyarakat pembacanya ?. Berawal
dari problem seperti ini, maka tugas berikutnya ialah berusaha memahami bahasa
agama tersebut, yang dalam hal ini ialah sebuah teks suci.
C. Memahami Teks
Dalam
bahasa agama, banyak digunakan ungkapan simbolik dan metaforik, maka
kesalahpahaman untuk menangkap pesan dasarnya sering terjadi. Secara prinsipil,
ketika kita hendak memahami sebuah teks, maka langkah prosedural yang pertama
kita lakukan ialah Intertekstualitas, dalam hak ini prinsip pertama yang
harus diperhatikan ialah, biarkan teks berbicara menurut dirinya sendiri.
Misalnya, ketika terdapat kata dan makna dalam Al-Qur’an yang belum jelas,
segera kita bertanya dan mencari pada ayat lain yang juga menggunakan kata yang
sama, namun pada konteks yang berbeda. Dengan penafsiran silang dan dialektis
intra-teks Al-Qur’an, maka pemahaman kata akan berkembang pada pemahaman konsep
dan wawasan konteks. Di sini pertanyaan lain segera muncul. Yaitu, bagaimana
kita tahu dan yakin bahwa teks ayat-ayat tertentu menafsirkan teks ayat yang
lain ? , di sinilah kita meningkat pada langkah kedua yakni penafsiran.
Lingkaran
internel teks Al-Qur’an telah dimasuki oleh teks lain di luarnya, yaitu Nabi
Muhammad Saw dan para penafsir lainnya, inilah lingkar teks kedua. Dalam
tradisi hermeneutika Islam, pemegang otoritas paling tinggi dalam lingkar teks
kedua ini ialah Nabi. Tapi benarkah jaringan interteks yang ada hanya terdiri
dari kalam Allah dan kalam Muhammad ?, bagaimana peran Jibril sang mediator ?.
Kemudian lagi, bukankah bahasa Al-Qur’an memberikan akomodasi dan apresiasi
terhadap literatur Arab yang terkenal kefasihannya dan narasi teks-teks
pewahyuan yang diturunkan kepada nabi sebelumnya ?. Untuk menanggulangi
problematika tersebut, maka langkah selanjutnya ialah berdialog dengan teks.
D. Berdialog
Dengan Teks
Teks
adalah fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk
tulisan. Sedangkan wacana adalah suatu aktivitas sharing pendapat atau
pemikiran. Jadi wacana merupakan medium bagi proses dialog untuk memperkaya
wawasan dan pemikiran dalam rangka mencari kebenaran yang lebih tinggi.
Hubungan antara fikiran, bahasa dan
wacana tidak bisa dipisahkan. Meskipun bagi mayoritas Al-Qur’an dipandang
sebagai teks, namun sebagian ada yang memandangnya sebagai wacana. Jika kita
memahami sebuah wacana hanya dari segi ucapan literalnya, maka kita bukannya
disebut orang yang jujur dan lugu, melainkan orang bodoh dan tidak komunikatif
sebab makna sebuah kata ataupun kalimat selalu berkaitan dengan konteks.
Dalam
proses dialogis ini,Hermeneuika merupakan salah satu alternatif. Secara
sederhana, pokok kajian hermeneutika adalah mengkaji pikiran dan perasaan orang
yang telah terlembagakan dalam bahasa tulis, sementara penulisnya tidak ada di
tempat. Ketika hermeneutika diterapkan dakam Kitab suci, persoalan yang muncul ialah jarak
antara Tuhan (author) dan manusia (reader) sangatlah jauh. Salah satu persoalan
yang dijembatani hermeneutika adalah jarak antara penulis dan pembaca. Di
sinilah persoalan interpretasi muncul. Seorang pembaca diharapkan dapat
melakukan dialog imajinatif dengan pengarangnya. Ketika kita hendak berdialog
dengan teks, hendaklah teks tersebut dianggap sebagai sebuah wacana. Dengan
begitu kita dapat memahami bahasa agama secara komprehensif. ketika kita
melakukan dialog dengan teks dengan menjadikannya sebagai sebuah wacana, maka
bukan hanya kulit teks saja yang menjadi bahan dialog, melainkan sesuatu di
balik teks (something beyond the text) juga akan telihat peranannya
dalam proses pelembagaan teks tersebut, mengacu pada definisi awal teks yang
merupakan pelembagaan sebuah wacana lisan atau yang lainnya dalam bentuk
tulisan. Ketika ide-ide yang melatarbelakangi suatu teks adalah suatu peristiwa, maka ada sesuatu
di luar teks yang ikut berperan dalam pelembagaan sebuah teks, yakni peristiwa
tersebut dan pikiran orang yang membuat teks tersebut sebagai representasi dari
peristiwa itu. Intinya, ketika hendak menangkap
pesan suatu teks dengan akurat dan komprehensif, ada 3 dimensi yang
tidak boleh lepas dari wilayah operasi kita yaitu :
ü Text (dimensi teks)
ü Author (dimensi pengarang)
ü Reader (dimensi pembaca)
Artikel singkat ini ane sarikan sari bukunya Prof. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama
0 komentar:
Post a Comment